
![]() |
Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, Lc.,MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman) |
Surat al-Maidah ayat 27:
"Dan
bacakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam menurut yang sebenarnya, ketika
keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka
dan tidak diterima dari yang lain. Ia berkata, 'Aku pasti membunuhmu!' Dia
(yang diterima kurbannya) berkata, 'Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban)
dari orang-orang yang bertakwa” (QS.
Al-Maidah ayat 27).
Ayat ini menceritakan kisah dua putra Nabi
Adam, yaitu Habil dan Qabil, yang mempersembahkan kurban kepada Allah SWT.
Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ
untuk membacakan kisah ini kepada umatnya sebagai pelajaran moral dan
spiritual. Kisah ini bukan hanya kisah sejarah, tetapi juga mengandung hikmah
besar tentang keikhlasan, ketakwaan, dan bahaya kedengkian. Meskipun nama Habil
dan Qabil tidak disebut dalam ayat, ulama tafsir sepakat bahwa merekalah yang
dimaksud. Kemudian, kedua anak Adam itu diminta mempersembahkan kurban sebagai
bentuk pendekatan diri kepada Allah. Habil, yang bertakwa dan ikhlas,
mempersembahkan hewan terbaik dari ternaknya. Qabil, sebaliknya, memberikan
hasil tani yang buruk sebagai bentuk pengorbanan yang tidak tulus. Allah SWT
menerima kurban Habil karena niat dan amalnya yang benar, sementara kurban
Qabil ditolak karena ketidakikhlasannya.
Penolakan terhadap kurban Qabil memicu amarah
dan kedengkian dalam hatinya. Ia tidak introspeksi diri atau berusaha
memperbaiki amalnya, melainkan iri terhadap saudaranya dan berniat membunuhnya.
Ini menggambarkan penyakit hati yang sangat berbahaya yaitu hasad (iri
dengki), yang bisa mendorong seseorang melakukan dosa besar, bahkan pembunuhan.
Dalam konteks sosial, ayat ini mengingatkan pentingnya mengendalikan emosi
negatif agar tidak merusak hubungan antar manusia. Namun, respons Habil
menunjukkan sikap seorang mukmin sejati. Ia tidak membalas ancaman dengan
kekerasan, melainkan menasihati saudaranya dengan menyebutkan prinsip penting:
bahwa Allah SWT hanya menerima amalan dari orang-orang yang bertakwa. Ini
merupakan pelajaran tentang pentingnya menjaga ketakwaan dan keikhlasan dalam
setiap ibadah, bukan sekadar tampilan lahiriah atau jumlah materi yang
diberikan.
Ayat ini menegaskan pentingnya keikhlasan
dalam beramal. Hanya amal yang dilakukan dengan niat yang tulus dan dengan
semangat ketakwaan yang diterima oleh Allah SWT. Habil mempersembahkan kurban
dari hewan terbaik miliknya karena ia ingin mendapatkan ridha Allah SWT, bukan
karena ingin dipuji atau sekadar formalitas. Sementara Qabil, yang amalnya
ditolak, menunjukkan bahwa tindakan lahiriah tanpa hati yang bersih dan niat
yang benar tidak bernilai di sisi Allah SWT. Ini menjadi pengingat bahwa dalam
beribadah, kualitas niat lebih utama daripada bentuk amal itu sendiri. Kemudian
dari kisah ini kita diajarkan untuk menghindari hasad (iri dan dengki).
Perasaan iri Qabil terhadap Habil, hanya karena kurbannya diterima, berubah
menjadi kebencian dan mendorongnya melakukan dosa besar: membunuh saudaranya
sendiri. Ini menunjukkan betapa berbahayanya hasad jika dibiarkan tumbuh dalam
hati. Iri hati bisa menghapus amal kebaikan dan merusak hubungan persaudaraan,
bahkan memicu kejahatan yang lebih besar.
Kemudian pelajaran penting lainnya adalah
sikap sabar dan bijaksana dalam menghadapi kezaliman. Ketika diancam akan
dibunuh, Habil tidak terpancing untuk membalas dendam atau membalas kejahatan
dengan kejahatan. Ia malah memberikan nasihat lembut yang menyejukkan dan
mengingatkan bahwa Allah SWT hanya menerima amal dari orang-orang yang
bertakwa. Sikap ini mencerminkan kontrol diri dan pengendalian emosi yang
tinggi, serta menunjukkan bahwa membalas kejahatan bukanlah jalan yang
dianjurkan dalam Islam. Yang terakhir, Habil menjadi contoh teladan bagi umat
Islam dalam hal keteguhan iman, kesabaran, dan keluhuran akhlak. Dalam kondisi
terancam nyawanya, ia tetap memegang prinsip kebenaran dan tidak melibatkan
diri dalam pertengkaran. Teladan ini relevan untuk semua zaman, bahwa seorang
muslim sejati harus mampu menahan amarah, menghindari pertikaian, dan tetap
menjaga adab serta ketakwaannya di tengah ujian hidup. Wallahu al-Musta’an.