
Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, Lc.,MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman) |
QS. Al-Isra ayat 57:
"Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari
jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada
Allah). Mereka mengharap rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sungguh, azab
Tuhanmu itu sesuatu yang (harus) ditakuti." (QS. Al-Isra
ayat 56)
Ayat
ini berisi penentangan kepada amalan syirik, yaitu menyekutukan Allah dengan
makhluk lain dalam hal ibadah dan doa. Allah menegaskan bahwa orang-orang yang dijadikan
sesembahan selain-Nya—baik itu nabi, wali, malaikat, atau makhluk suci
lainnya—sebenarnya juga adalah hamba-hamba Allah yang berusaha mendekatkan diri
kepada-Nya. Mereka bukanlah tuhan, dan mereka pun tidak memiliki kekuasaan
ilahi.
Dalam
ayat ini disebutkan bahwa ada beberapa golongan yang dijelaskan dengan kalimat:
"mereka mencari jalan (pendekatan) kepada Tuhan mereka".
Maksudnya, para makhluk yang diagungkan oleh sebagian orang sebagai perantara
atau sesembahan itu sendiri masih berusaha mendekat kepada Allah. Mereka
menjalani ibadah, berdoa, dan beramal saleh demi mendapatkan kedudukan yang
lebih dekat dengan-Nya. Ini menunjukkan bahwa kedudukan mereka bukan di atas,
tapi sejajar sebagai makhluk Allah.
Untuk
fenomena ini, sebagian mufasir menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan kepada kaum
musyrik Mekah yang menyembah makhluk seperti malaikat, nabi, atau jin dengan
keyakinan bahwa mereka bisa menjadi perantara kepada Allah. Namun, Allah
membantah hal itu: makhluk-makhluk yang mereka sembah itu sendiri sedang
berjuang mencari rahmat Allah. Jadi, bagaimana bisa mereka disembah jika mereka
sendiri butuh kepada Tuhan? Setelah itu, ayat ini juga menyebut bahwa
makhluk-makhluk tersebut "mengharap rahmat-Nya dan takut akan
azab-Nya". Ini menekankan sifat ketundukan dan kehambaan. Bahkan makhluk
yang mulia seperti malaikat atau nabi pun tidak merasa aman dari azab Allah.
Mereka selalu berada dalam keadaan harap dan takut, dua sikap utama dalam
ibadah kepada Allah. Lalu pada akhir ayat memberikan penekanan bahwa ancaman
azab Allah itu bukan main-main. Ini adalah peringatan bagi siapa pun yang
melanggar batas-Nya, termasuk mereka yang mempersekutukan-Nya dengan makhluk
lain dalam hal ibadah.
Meskipun
konteks ayat ini merujuk pada kaum musyrik di masa Nabi Muhammad ﷺ, pesan moral dan teologisnya tetap
relevan. Dalam kehidupan modern, masih ada praktik-praktik yang secara tidak
sadar menempatkan makhluk pada posisi ilahi—misalnya, menggantungkan harapan
spiritual sepenuhnya kepada tokoh agama atau perantara tanpa kembali kepada
Allah secara langsung. Ayat ini menuntun umat Islam untuk selalu menempatkan
Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung dan beribadah. Ala kulli hal,
Secara keseluruhan, ayat ini mengajarkan tauhid yang murni dan mengingatkan agar
tidak terjerumus dalam bentuk penyembahan terhadap makhluk, seberapa pun
mulianya makhluk tersebut. Semua makhluk adalah hamba Allah yang tunduk
kepada-Nya, dan hanya kepada Allah-lah seharusnya doa, harapan, dan ketakutan
ditujukan. Wallahu al-Musta’an.