
![]() |
Dr. Tgk. H. Aufa Safrizal Putra, Lc.,MA (ASN Dinas Syariat Islam Aceh Barat Daya) |
Al-Mabrur dalam Bingkai Al-Qur’an
Oleh: DR. H. Aufa Safrijal putra. Lc.,MA
Hadirin Sidang Shalat Jamaah
Jum’at yang diridhai Allah Swt.
Tanpa terasa
kita menapaki kehidupan di tahun 1447 H, hari ini kita sudah berada di akhir
bulan Muharram. Bulan Muharram dijadikan oleh khalifah Umar bin Khatab sebagai
awal bulan di tahun Hijriah, terpilihnya bulan Muharram sebagai awal bulan
hijriah karena pada bulan tersebut orang-orang yang pergi Haji ke Baitullah
mereka semuanya akan pulang setelah menunaikan ibadah haji. artinya bulan Muharram bulan kedatangan orang
yang berhaji kembali ke tanah air masing-masing. Begitu juga di tempat kita di
Aceh khususnya hampir seluruh rombongan atau kloter yang sudah kembali ke
Embarkasi Sultan Iskandar Muda di Banda Aceh. Kita doakan semoga seluruh para
hujjaj atau para Jemaah haji kita mendapatkan haji yang mabrur.
Pertanyaannya
apakah al-mabrur itu untuk orang yang berhaji saja, atau bolehkah kita
mengaitkan kepada kita yang tidak menunaikan haji dengan kalimat al-Mabrur.
Banyak orang yang mengharapkan al-Mabrur. Sebagaimana dikatakan Baginda
Muhammad Rasulullah SAW
Alhajju Mabrur laisa lahu al-jazaa illal Jannah
“Tidak ada
balasan bagi orang-orang yang mendapatkan haji yang mabrur melainkan syurga
dari Allah SWT. Nah, bolehkan kita dikaitkan dengan al-Mabrur”.
Hadirin
siding jamaah jum’at yang di ridhai Allah SWT.
Yang pertama,
kenapa Allah SWT mengaitkan orang yang berhaji dengan al-mabrur ternyata kata
al-mabrur itu berasal dari kata al-birru. Al-birru artinya puncak daripada
kebaikan. Allah Swt telah menjadikan di atas permukaan bumi ini begitu banyak
kebaikan-kebaikan yang dapat kita lihat. Namun puncak dari kebaikan-kebaikan
itu adalah al-birr. Maka orang yang melakukan kebaikan sudah tentu berada pada
puncak. Kalau yang namanya puncak kebaikan selalu berada diatas. Misalnya
puncak gunung jika dibandingkan gunung dengan dasar gunung tentu lebih besar
dibandingkan dengan puncak gunung, tetapi bukan berarti orang yang sampai pada
puncak itu sedikit dan tidak mustahil bagi kita untuk mendapatkan puncak dari
kebaikan itu.
Hadirin
sidang jamaah yang di ridhai Allah SWT
Allah
mendefinisikan makna al-birr atau makna mabrur. Mabrur itu adalah orangnya,
sedangkan Al-birr itu adalah pekerjaannya. Kata Allah SWT
Lan
tanaalul birra hatta tunfiqu mimma tuhibbuu wama tunfiquna fainnallah bikulli
syain alim.
Artinya:
tidak ada sama sekali orang itu akan mendapatkan gelar mabrur sebelum dia
menginfakkan yang terbaik dari sisinya kepada orang lain. Tidak akan disebutkan
dia sebagai orang mabrur sebelum ia memberikan sesuatu yang paling ia cintai
kepada saudaranya. Masalahnya adalah jangankan kita memberikan sesuatu,
meminjamkan saja sudah sangat sulit kita berikan kepada orang lain, atau
jangankan saja memberikan kepada orang lain, meminjamkan saja mungkin itu agak
sulit untuk diberikan. Contohnya saja jika diantara kita ada yang memiliki dua
kenderaan, satu yang baru dan satu lagi yang lama. Tiba-tiba datang tetangga kita
yang meminjam kenderaan itu. Dia mengucapkan wahai saudaraku bolehkah aku
meminjam kenderaanmu. Kira-kira diantara kita yang memiliki kenderaan kenderaan
apa yang diminta dipinjamkan oleh saudara kita yang lama atau yang masih baru,
tentunya kita sudah memiliki jawabannya masing-masing. Memberikan kederaan yang
lama itu baik, tetapi jika memberikan kederaan itu yang baru, itu menjadi lebih
baik di sisi Allah Swt. Maka al-Mabrur itu tidak akan dikatakan seseorang
sebelum ia memberikan sesuatu yang baik yaitu apa yang dicintainya kepada orang
lain.atau saudaranya.
Hadirin
sidang jama’ah jumat yang dirahmati Allah Swt, kenapa Allah mengaitkan
al-mabrur itu dengan haji. Ternyata haji itu salah satunya untuk mendapatkan
gerbong al-mabrur, Karena orang yang berhaji bukan saja mengorbankan hartanya,
bukan saja mengorbankan uangnya, bukan saja mengorbankan seluruh harta yang ia
miliki tetapi mengorbankan fisiknya. Coba diperhatikan betapa banyak orang yang
telah membayar puluhan atau ratusan juta ketika dia berhaji tidak peduli dengan
uang itu, dan kita tau bahwasanya harta itu adalah cerminan dari sikap kita
artinya apa harta kalau disebutkan dalam Bahasa arab dengan kata maalun,
yaitu kecendrungan kita untuk memiliki harta, kecendrungankita untuk mencintai
harta dan harta yang paling agung menurut kita secara pribadi adalah uang kita
sendiri. Sangking hebatnya kita mencintai harta sampai-sampai Allah menyebutkan
watuhibbuuna maalan hubban jamma. Banyak diantara kita yang mencintai
harta terlalu berlebihan dalam mencintai uang. Kadang-kadang ada orang yang
sudah mempunyai uang namun terus mencarinya lagi bahkan yang sudah memiliki 1
milyar atau 1 Triliun pun masih tetap mencari harta lagi, bahkan ada yang
mencoba menghalalkan segala cara meskipun telah melakukan dengan cara-cara yang
syar’i tetapi karena ada kecenderungannya lagi untuk memiliki harta, maka dia
akan mencoba mearih harta tersebut bukan dengan cara-cara yang halal baik
korupsi, nepotisme dan sebagainya. Bahkan kita di kejutkan dalam beberapa waktu
yang lalu ada orang yang akan mengambil pulau mengapa dilakukan sedemikian
karena tidak cukup uang yang ada, dia ingin mencoba kalau bisa pulau itu untuk
menjadi kepemikinnya, itulah kecendrungan yang ada pada manusia.
Hadirin
sidang jamaah jumat yang diridhai Allah Swt
Sangat
berbeda sekali dengan orang mukmin. Orang-orang yang beriman kepada Allah
menjadikan harta itu sebagai wasilah, sebagai wasithat sebagai perantara untuk
bertemu dengan Allah Swt untuk mendapatkan ridha-Nya. Orang-orang yang berhaji
ke Baitullah yaitu orang yang mengorbankan hartanya, yang mengorbankan uangnya
bahkan orang yang ingin pergi haji walaupun harus membayar dengan nominal yang
sangat besar hampir 1 Milyar akan menyanggupinya, ia tidak memperdulikan lagi
dengan besarnya nominal uang yang telah dikeluarkan meskipun hartanya berkurang
atau habis. Ia tidak mempermasalahkan lagi karena yang terpenting mencari ridha
Allah. Meskipun telah mengeluarkan uang
1 Milyar bukan saja harta yang telah ia keluarkan bahkan harus mengorbankan fisiknya
seperti melakukan thawaf, sai dengan mengerahkan kekuatan seluruh anggota
tubuh, dan tidak menggunakan alat bantu. Begitu juga dengan melempar jamarah ia
berusaha dengan sendirinya tanpa ada bantuan orang lain. Ia telah berhasil
menngorbankan hartanya dan mengorbankan fisiknya maka sangat pantas untuk
disebutkan dengan gelar haji mabrur.
Maka hadirin
sidang jamaah Allah Swt, pertanyaan yang kedua bolehkah orang yang tidak
melakukan ibadah haji disebutkan dengan al-mabrur? Allah Swt menjawab dengan firmannya
wataa’wanu ‘alal birri wat taqwa, walaa ta’awanu alal ismi wal ‘udwan.
Artinya tolong menolonglah kamu dalam al-birr (kebaikan dan ketakwaan) dan
janganlah kamu saling tolong menolong dalam melakukan dosa dan permusuhan
artinya adalah jika kita orang yang tidak melakukan ibadah haji ingin
mendapatkan gelar al-mabrur. Coba diperhatikan al-mabrur dilawankan dengan dua
kalimat al-ismu dan al-‘udwan. Apa itu al-Ismu. Al-Ismu itu adalah
sebuah keburukan yang kita perbuat berhubungan langsung dengan Allah Swt
sedangkan al-‘Udwan yaitu permusuhan. Ketika kita ingin mendapatkan gelar
al-mabrur, maka boleh saja bagi kita yang tidak melakukan ibadah haji, kemudian
di berikan gelar dengan al-mabrur maka syarat yang pertama adalah jangan
melakukan tolong menolong dalam melakukan perbuatan dosa artinya adalah
hubungan kita dengan Allah secara vertikal. Perbaiki hubungan dengan Allah,
perbaiki komunikasi dengan Allah Swt. Ketika Allah telah memberikan perintah
kepada kita shalat, maka laksankan shalat jangan mencari gara-gara untuk tidak
shalat, ketika Allah memerintahkan zakat, maka bayarlah zakat jangan mencari
alasan untuk tidak mampu membayar zakat. Ketika Allah memerintahkan untuk
berhaji bagi yang mampu maka usahakan untuk mendaftarkan haji membuat alasan
yang bertele-tele kurang mampu, tetapi ketika dilihat secara zahiriyah sudah
mampu untuk mendaftarkan haji tapi tidak mau untuk mendaftarkan diri, bahkan
ada yang beralasan jika mendaftarkan haji pada saat ini maka masa tunggunya
sampai 40 tahun kedepan, masalah daftar tunggu itu ursan Allah Swt yang penting
kita mendaftar diri terlebih dahulu artinya jika kita sudah mampu maka segera
daftarkan diri kita jika kita ingin memperbaiki hubungan kita dengan Allah.
Makanya selaku hamba Allah jangan sekali-kali mencari gara-gara dengan sang
Pencipta, jika Allah sudah memerintahkan kepada kita maka tunaikanlah perintah
tersebut. Perbaiki shalat kita dengan Allah, perbaiki puasa kita dengan Allah,
jangan sekali-kali membuat dosa dan murka kepada Allah, jangan sampai Allah
marah kepada kita.
Maka jika
kita ingin mendapatkan gelar al-mabrur, bukan hanya memperbaiki hablun
minallah, tetapi hablun minan naas kalimat Wala ta’awanu alal ismi wal udwan
adalah salah satu pernyataan Allah untuk mempertegaskan kepada kita agar
tidak sekali-kali membuat permusuhan antar sesama. Jika hablun minallah sudah
baik maka jadikan juga hablun minan naas tidak cukup dengan ibadah, shalat,
puasa, zakat dan haji saja namun dibutuhkan juga dengan hubungan baik antar
sesama manusia. Bayangkan saja jika dengan hablun minallah saja bisa masuk
syurga maka Rasulullah tidak akan turun dari gua hira beliau akan terus
bertahanus, beliau akan terus bertahlil dan akan terus berzikir tidak akan mau
turun dari gua hira jika hablun minallah saja yang bisa masuk syurga. Sekali-kali
tidaklah demikian juga jika ingin mendapatkan gelar al-mabrur maka perbaiki
hubungan kita dengan Allah dan perbaiki juga hubungan kita dengan sesama
manusia.
Bagaimana
cara kita memperpaiki hablun minan naas salah satunya jangan suka mencaci,
memaki, menghina dan jangan suka menjatuhkan orang lain di depan orang lain
lagi. Kita jatuhkan martabat dia, kita jatuhkan harga dirinya, kita zalimi dia
maka tidak ada gunanya sama sekali meskipun bagus bacaan al-Qur’an, shalatnya
bagus, puasanya bagus, maka sungguh tidak akan memadai jika dengan membaca
al-Qur’an, shalat, puasa dan zakat bahkan haji berkali-kali umrah setiap tahun
kita belum mendapatkan gelar al-mabrur jika hubungan dengan manusia belum baik.
Misalkan saja untuk senyum saja kepada tetangga tidak pernah ada apalagi saling
tegur sapa. Dengan tetangga tidak pernah saling menghargai, dengan tetangga
tidak saling menghormati, sehingga dengan sesama manusia yang ada perasaan
dengki dan iri hati. Jika melihat orang lain ada saja yang di salahkan sehingga
membenarkan diri sendiri, dengan mengaggap dirinya yang paling benar. Jika
perasaan takjub dan takabur sudah melekat pada diri kita maka apapun pahala
ibadah yang telah dilakukan tidak kita tidak termasuk dari golongan al-mabrur.
Maka cobalah kita saling harga menghargai, hormat-menghormati, karena kita
tidak bisa hidup secara mandiri cukup dengan keyakinan diri sendiri atau
pendapat sendiri saja kita menjalani kehidupan ini dengan cara beragam. Sebagai
contoh ada dalam sebuah masjid ada tradisi zikir setelah shalat ataupun setelah
azan ada doanya tetapi ada juga dalam satu-satu masjid setelah shalat tidak ada
doa maupun zikir tetapi zikirnya hanya ada di dalam hati sehingga jika kita
yang memang melakukan zikirnya di dalam hati hargai orang yang berzikir secara
jihar, begitu juga jika ada saudara kita yang sedang berzikir maka boleh
bersabar sejenek sebelum melakukan ibadah shalat sunah ba’diyah sehingga inilah
yang harus di tanamkan dengan sifat saling menghargai. Inilah yang disebutkan
dengan hablun minan naas. Sehingga sehebat apapun kita, jika hanya mengandalkan
baik hubungan dengan Allah saja tetapi tidak baik hubungan dengan manusia maka
kita belum termasuk orang-orang yang al-mabrur. Semoga.