
![]() |
Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, Lc.,MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman) |
Kebenaran dan Keadilan Allah SWT dalam Menanggapi Pembangkangan Iblis
Surah Al-Isra’
ayat 63:
"
Dia (Allah)
berfirman, “Kebenaran itulah (keputusanku) dan hanya kebenaranlah yang Aku
katakan. Sungguh, Aku akan memenuhi neraka Jahannam denganmu dan dengan
orang-orang yang mengikutimu di antara mereka semuanya” (QS. Al-Isra
ayat 63)
Dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya, Allah SWT menggambarkan
dialog yang terjadi antara-Nya dengan Iblis, makhluk yang membangkang perintah
sujud kepada Adam. Iblis bersumpah untuk menyesatkan keturunan manusia dari
jalan Allah. Maka, pada ayat ke-63 ini, Allah menjawab dengan firman yang tegas
dan penuh kepastian: “Kebenaran itulah (keputusanku) dan hanya kebenaranlah
yang Aku katakan.” Ini adalah penegasan bahwa keputusan Allah bukan hasil
emosi atau balasan yang terburu-buru, melainkan kebenaran yang murni dan adil.
Segala ucapan dan keputusan-Nya bersandar pada kebenaran absolut, tanpa unsur
kezaliman sedikit pun. Allah SWT punya kekuasaan absolut untuk membuat keputusan.
Adapun yang dimaksud dengan kebenaran dalam ayat ini menunjukkan
sifat Allah SWT yang Mahabenar dan Mahabijaksana. Dalam sebagian tafsir,
dijelaskan bahwa Allah SWT tidak pernah berbicara kecuali dengan kebenaran, dan
keputusan-Nya selalu tepat sasaran. Maka ketika Allah SWT memutuskan untuk
menghukum Iblis, hal itu bukan semata karena pembangkangannya, tetapi karena
sifat dan niatnya yang terus-menerus menyesatkan manusia. Ini menunjukkan bahwa
segala bentuk hukuman dari Allah SWT adalah bentuk keadilan, bukan balas
dendam.
Penggalan ayat berikutnya, Allah SWT menyatakan dengan sangat tegas
bahwa Dia akan memenuhi neraka Jahanam dengan Iblis dan para pengikutnya dari kalangan
manusia. Dalam bahasa Arab, bentuk kalimat “La-amla’anna Jahannama”
mengandung dua bentuk penegasan sekaligus, yaitu huruf lam dan nun
taukid, yang menunjukkan bahwa ancaman ini pasti terjadi. Sebagaimana juga
dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa tidak ada yang akan selamat dari
hukuman ini kecuali mereka yang bertobat dan kembali kepada Allah SWT. Ini
adalah ancaman nyata bagi siapa pun yang memilih jalan kesesatan dan berpaling
dari kebenaran.
Ayat ini pun memperlihatkan bahwa mengikuti Iblis tidak selalu
berarti menyembahnya secara eksplisit, melainkan cukup dengan menuruti bisikan
jahat, melawan perintah Allah, atau mengikuti hawa nafsu yang menjerumuskan. Kemudian,
dalam Tafsir Al-Maraghi disebutkan bahwa banyak manusia yang tanpa sadar menjadi
pengikut Iblis karena memilih gaya hidup yang bertentangan dengan nilai-nilai
wahyu. Maka, ayat ini sejatinya adalah cermin bagi manusia untuk menilai
kembali arah hidupnya: apakah sedang menuju kepada Allah SWT atau malah
terjebak dalam rayuan setan yang terkutuk.
Kemudian peringatan yang terkandung dalam ayat ini juga menunjukkan
bahwa neraka tidak diciptakan untuk manusia secara asal, melainkan hanya bagi
mereka yang dengan sadar menolak jalan kebenaran dan memilih jalan
pembangkangan. Allah Mahaadil dan tidak akan menyiksa kecuali setelah tegaknya
hujjah (alasan yang jelas). Oleh karena itu, manusia diberi akal, wahyu, dan
para rasul sebagai pembimbing agar tidak terjerumus dalam perangkap Iblis.
Pilihan ada di tangan manusia, dan setiap pilihan pasti memiliki akibat.
Dengan demikian, jelaslah bahwa penegasan tentang keadilan dan
kebenaran keputusan Allah SWT terhadap Iblis dan para pengikutnya. Ayat ini
memberi pelajaran penting bahwa manusia memiliki kebebasan memilih jalan hidup,
tetapi setiap jalan membawa konsekuensi. Bila memilih untuk mengikuti Iblis dan
meninggalkan petunjuk Allah SWT, maka tempat kembali adalah Jahanam. Namun jika
memilih jalan taat dan kembali kepada-Nya, maka rahmat dan keselamatan akan
menjadi balasannya. Ayat ini menjadi peringatan sekaligus ajakan agar manusia
tidak terpedaya oleh godaan setan yang nyata. Wallahu al-musta’an.