-->

Back Groud MRB (atas)


 

Pengumuman

Jadwal Shalat

Diam Rasulullah Sebagai Hadist dan Kedudukan Sunnah Khulafaur Rasyidin

mrb
Thursday, September 11, 2025, September 11, 2025 WIB Last Updated 2025-09-12T05:49:59Z

 

Abu Paya Pasi
(Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman)

Al-Qur’an menjadi mutawatir seluruhnya, dan penulisannya telah rampung sebelum tiga tahun setelah wafat Rasulullah SAW. Pada suatu masa, Sayyidina Umar pernah beristikharah selama sebulan terkait keinginan menulis hadist. Namun, dalam istikharah itu, beliau mendapat kesimpulan untuk tidak menuliskannya terlebih dahulu. Hal ini karena umat pada masa itu belum mampu membedakan mana yang termasuk Al-Qur’an dan mana yang termasuk hadist. Oleh sebab itu, hadist Rasulullah baru mulai ditulis setelah wafatnya Sayyidina Mu‘awiyah, yakni lebih dari 60 tahun setelah Hijrah.


Dari situlah kemudian lahir berbagai klasifikasi hadist, seperti sahih li-dzatih, sahih li-ghairih, hasan li-dzatih, hasan li-ghairih, serta hadis daif. Hadis daif masih dapat diamalkan dalam fadhail al-a‘mal (keutamaan amal) atau sebagai ikhtiar, asalkan tingkat kelemahannya tidak sampai pada hadis maudhu’ (palsu) atau matruk.


Setelah wafat Rasulullah SAW, kepemimpinan umat dipegang oleh Sayyidina Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Dari beliau dan para khalifah setelahnya, umat memiliki pedoman agama yang terdiri atas Al-Qur’an, hadist, ijma‘, dan qiyas. Itulah empat sumber hukum yang disepakati oleh para ulama mazhab. Dalam mazhab Syafi‘i ditambahkan pula istishab.


Pada masa Rasulullah SAW sendiri, hukum yang berlaku hanyalah Al-Qur’an dan hadist. Pendapat pribadi para sahabat tidak dianggap sebagai hujah meskipun benar, kecuali ketika disetujui Rasulullah. Contohnya, ketika Sayyidina Abu Bakar pernah berkata, “Siapa yang membunuh orang kafir, maka segala sesuatu yang ada pada tubuh kafir tersebut menjadi milik pembunuhnya.” Saat itu Umar juga berkata demikian di hadapan Rasulullah, dan beliau diam. Diamnya Rasulullah menjadi tanda persetujuan, sehingga ucapan itu dihukumi sebagai hadist.


Demikian pula ketika Khalid bin Walid sepulang dari perang memakan daging kokkok beun. Para sahabat melaporkannya kepada Rasulullah SAW. Beliau hanya tersenyum dan tidak menegurnya. Senyum dan diamnya Rasulullah menandakan kebolehan. Seandainya hal itu terlarang, tentu beliau akan melarang. Dari sini, diketahui bahwa diam Rasulullah juga termasuk bagian dari hadist.


Contoh lain terjadi ketika Sayyidah Fatimah telah baligh. Sayyidina Abu Bakar menghadap Rasulullah dan meminang Fatimah untuk dirinya, namun Rasulullah hanya diam. Abu Bakar pun pulang tanpa jawaban. Lalu, giliran Sayyidina Umar datang meminang Fatimah, tetapi Rasulullah tetap diam. Akhirnya keduanya meminta Sayyidina Ali untuk mencoba. Ketika Ali datang meminang Fatimah, Rasulullah mengizinkannya. Dari sini, para sahabat memahami bahwa diam Rasulullah menandakan ketetapan hukum, yakni apabila seorang anak perempuan sudah dinikahkan dengan seseorang, maka haram bagi ayahnya untuk menikahinya.


Di masa lain, seorang Yahudi pernah berkata kepada Sayyidina Umar, “Wahai Umar, siapa perantara yang menurunkan Al-Qur’an kepada nabimu?” Umar menjawab, “Jibril.” Yahudi itu berkata, “Kalau Jibril yang menjadi perantara, kami tidak percaya, karena Jibril adalah pengkhianat. Leluhur kami banyak menjadi korban karena Jibril membalikkan gunung dan menurunkan azab. Kalau Mikail yang menurunkannya, kami percaya, karena Mikail membawa hujan dan rahmat.” Maka Umar pun membaca Surah Al-Baqarah ayat 98:


“Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh bagi orang-orang kafir itu.”


Jawaban Umar tersebut ternyata sesuai dengan wahyu yang diturunkan, tanpa kurang dan tanpa lebih. Inilah yang menunjukkan keluasan ilmu dan kejernihan hati para Khulafaur Rasyidin.


Demikian pula terkait pengharaman arak. Ketika turun Surah An-Nisa ayat 43:


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati salat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...”


Sayyidina Umar berkata, “Ya Rasulullah, berarti arak itu memabukkan.” Rasulullah tidak menjawab. Lalu turunlah Surah Al-Baqarah ayat 219, yang menjelaskan bahwa khamar dan judi mengandung dosa besar dan lebih banyak mudarat daripada manfaat. Dari sini jelas bahwa pendapat para sahabat sering kali mendapat penguatan langsung dari wahyu.


Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 59:


“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu.”


Rasulullah SAW juga bersabda:


“Peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk.”


Inilah bukti bahwa sunnah Rasulullah dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mahdiyin merupakan pedoman penting bagi umat Islam.

 


Komentar

Tampilkan

  • Diam Rasulullah Sebagai Hadist dan Kedudukan Sunnah Khulafaur Rasyidin
  • 0


Jadwal Shalat

”jadwal-sholat”