
![]() |
Abu Paya Pasi (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman) |
Al-Qur’an menjadi mutawatir seluruhnya, dan
penulisannya telah rampung sebelum tiga tahun setelah wafat Rasulullah SAW.
Pada suatu masa, Sayyidina Umar pernah beristikharah selama sebulan terkait
keinginan menulis hadist. Namun, dalam istikharah itu, beliau mendapat
kesimpulan untuk tidak menuliskannya terlebih dahulu. Hal ini karena umat pada
masa itu belum mampu membedakan mana yang termasuk Al-Qur’an dan mana yang
termasuk hadist. Oleh sebab itu, hadist Rasulullah baru mulai ditulis setelah
wafatnya Sayyidina Mu‘awiyah, yakni lebih dari 60 tahun setelah Hijrah.
Dari situlah kemudian lahir berbagai
klasifikasi hadist, seperti sahih li-dzatih, sahih li-ghairih, hasan li-dzatih,
hasan li-ghairih, serta hadis daif. Hadis daif masih dapat diamalkan dalam
fadhail al-a‘mal (keutamaan amal) atau sebagai ikhtiar, asalkan tingkat
kelemahannya tidak sampai pada hadis maudhu’ (palsu) atau matruk.
Setelah wafat Rasulullah SAW, kepemimpinan umat
dipegang oleh Sayyidina Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Dari beliau dan
para khalifah setelahnya, umat memiliki pedoman agama yang terdiri atas
Al-Qur’an, hadist, ijma‘, dan qiyas. Itulah empat sumber hukum yang disepakati
oleh para ulama mazhab. Dalam mazhab Syafi‘i ditambahkan pula istishab.
Pada masa Rasulullah SAW sendiri, hukum yang
berlaku hanyalah Al-Qur’an dan hadist. Pendapat pribadi para sahabat tidak
dianggap sebagai hujah meskipun benar, kecuali ketika disetujui Rasulullah.
Contohnya, ketika Sayyidina Abu Bakar pernah berkata, “Siapa yang membunuh
orang kafir, maka segala sesuatu yang ada pada tubuh kafir tersebut menjadi
milik pembunuhnya.” Saat itu Umar juga berkata demikian di hadapan Rasulullah,
dan beliau diam. Diamnya Rasulullah menjadi tanda persetujuan, sehingga ucapan
itu dihukumi sebagai hadist.
Demikian pula ketika Khalid bin Walid sepulang
dari perang memakan daging kokkok beun. Para sahabat melaporkannya kepada
Rasulullah SAW. Beliau hanya tersenyum dan tidak menegurnya. Senyum dan diamnya
Rasulullah menandakan kebolehan. Seandainya hal itu terlarang, tentu beliau
akan melarang. Dari sini, diketahui bahwa diam Rasulullah juga termasuk bagian
dari hadist.
Contoh lain terjadi ketika Sayyidah Fatimah
telah baligh. Sayyidina Abu Bakar menghadap Rasulullah dan meminang Fatimah
untuk dirinya, namun Rasulullah hanya diam. Abu Bakar pun pulang tanpa jawaban.
Lalu, giliran Sayyidina Umar datang meminang Fatimah, tetapi Rasulullah tetap
diam. Akhirnya keduanya meminta Sayyidina Ali untuk mencoba. Ketika Ali datang
meminang Fatimah, Rasulullah mengizinkannya. Dari sini, para sahabat memahami
bahwa diam Rasulullah menandakan ketetapan hukum, yakni apabila seorang anak perempuan
sudah dinikahkan dengan seseorang, maka haram bagi ayahnya untuk menikahinya.
Di masa lain, seorang Yahudi pernah berkata
kepada Sayyidina Umar, “Wahai Umar, siapa perantara yang menurunkan Al-Qur’an
kepada nabimu?” Umar menjawab, “Jibril.” Yahudi itu berkata, “Kalau Jibril yang
menjadi perantara, kami tidak percaya, karena Jibril adalah pengkhianat.
Leluhur kami banyak menjadi korban karena Jibril membalikkan gunung dan
menurunkan azab. Kalau Mikail yang menurunkannya, kami percaya, karena Mikail
membawa hujan dan rahmat.” Maka Umar pun membaca Surah Al-Baqarah ayat 98:
“Barang siapa yang menjadi musuh Allah,
malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya
Allah adalah musuh bagi orang-orang kafir itu.”
Jawaban Umar tersebut ternyata sesuai dengan
wahyu yang diturunkan, tanpa kurang dan tanpa lebih. Inilah yang menunjukkan
keluasan ilmu dan kejernihan hati para Khulafaur Rasyidin.
Demikian pula terkait pengharaman arak. Ketika
turun Surah An-Nisa ayat 43:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mendekati salat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa
yang kamu ucapkan...”
Sayyidina Umar berkata, “Ya Rasulullah, berarti
arak itu memabukkan.” Rasulullah tidak menjawab. Lalu turunlah Surah Al-Baqarah
ayat 219, yang menjelaskan bahwa khamar dan judi mengandung dosa besar dan
lebih banyak mudarat daripada manfaat. Dari sini jelas bahwa pendapat para
sahabat sering kali mendapat penguatan langsung dari wahyu.
Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa ayat
59:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah,
taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu.”
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur
Rasyidin yang mendapat petunjuk.”
Inilah bukti bahwa sunnah Rasulullah dan sunnah
Khulafaur Rasyidin yang mahdiyin merupakan pedoman penting bagi umat Islam.