
Haris Darmawan, ST.,MT (Pengurus Remaja Masjid Raya Baiturrahman) |
Oleh : Haris Darmawan, ST.,MT
Kita makin sering mendengar kabar remaja yang terjerat
narkoba, bahkan di lingkungan yang dulu terasa aman dan jauh dari hal-hal
tersebut. Yang paling mengerikan sabu-sabu. Sekali dicoba akan sulit dilepas.
Sekali masuk, hidup bisa hancur.
Remaja itu ibarat tanah liat: lunak, bisa dibentuk, tetapi
juga gampang rusak kalau salah pegang. Di usia mereka, rasa penasaran besar,
keinginan terlihat keren di mata teman dan dorongan mencoba hal baru jadi campuran
berbahaya kalau tidak ada bimbingan. Masalahnya, pengedar narkoba paham betul
titik lemah ini. Mereka tahu cara menggoda, memanipulasi, dan menjebak.
Yang menyedihkan, sabu-sabu sering masuk lewat teman.
Awalnya cuma tawaran, buat senang-senang aja. Tetapi dari situ, semuanya bisa
berubah. Anak yang ceria jadi murung. Yang semangat sekolah jadi pemalas,
bahkan hubungan keluarga pun bisa rusak karena kebohongan demi kebohongan yang
terus terjadi.
Jadi, siapa yang harus bertindak? Jawabannya: semua pihak.
Orang tua punya peran paling utama. Rumah mestinya menjadi
tempat aman, bukan tempat penuh tekanan. Jangan cuma marah saat anak salah,
tetapi ajak ngobrol, dengarkan isi hati mereka. Remaja tidak butuh orang tua
sempurna, mereka cuma butuh didengar dan dipahami.
Sekolah juga bukan sekadar tempat belajar, tetapi harus jadi
tempat tumbuh. Bukan hanya hafalan pelajaran, tetapi juga pembekalan nilai
hidup. Edukasi tentang narkoba harus nyata, bukan sekadar slogan atau poster,
tetapi juga cerita langsung dari para mantan pengguna, biar efeknya terasa.
Masyarakat jangan cuma diam. Buka ruang anak muda
berekspresi, baik lewat musik, olahraga, teater, atau apapun yang positif. Saat
energi mereka tersalurkan, godaan lari ke hal-hal negatif bisa jauh berkurang.
Pemerintah tentu punya peran yang vital. Bukan cuma
menangkap para pengedar, tetapi juga mempermudah akses rehabilitasi. Anak-anak
yang sudah terlanjur jadi korban, jangan dikucilkan, tetapi juga harus kita
tolong dan diberikan kesempatan kedua.
Remaja itu sendiri tentu saja harus belajar berkata tidak.
Di zaman sekarang, keberanian bukan soal ikut-ikutan. Justru berani itu ketika
kita bisa menolak sesuatu yang merusak, meski semua orang di sekitar bilang
“nggak apa-apa, cuma sekali”, karena sekali itu bisa jadi selamanya.
Narkoba, khususnya sabu-sabu, tidak pilih-pilih korban. Anak
baik pun bisa jadi pecandu kalau salah langkah. Karena itu, mari kita jaga mereka, bukan dengan
menakut-nakuti, tetapi dengan menemani dan memahami. Kita mungkin tidak bisa
menyelamatkan semua anak, tetapi jangan sampai karena diam, anak lain jadi
korban.
Editor: Sayed M. Husen