![]() |
| Dr. Tgk. Jabbar Sabil, MA (Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry) |
Oleh : Dr. Tgk. Jabbar Sabil, MA
Pada Khatib Jumat 12 Desember 2024 di Masjid Raya Baiturrahman
Sikap Umat Islam terhadap Bank Islami
Bank
bukanlah lembaga yang murni lahir dari rahim sejarah Islam sebagaimana halnya
Baitul Mal, dari itu kita memakai istilah Bank Islami. Catatan sejarah
menunjukkan bahwa sistem perbankan modern seperti yang kita kenal hari ini
diadopsi pertama sekali oleh umat Islam di Kairo (Mesir) tahun 1963 M. Maka kata
Bank Islami di sini menunjukkan adanya penyesuaian konsep, prosedur dan tujuan
sehingga sejalan dengan ajaran Islam. Meski telah dilakukan penyesuaian,
terutama untuk menghindari praktik riba, namun tidak sedikit umat Islam yang
ragu dengan keberkahan sistem perbankan tersebut. Hal ini menuntut telaah
kiritis tentang bagaimana seharusnya sikap umat Islam terhadap Bank Islami.
Hadirin jamaah Jum’at yang dirahmati Allah.
Melihat fungsinya, perbankan adalah lembaga yang didirikan untuk menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat. Fungsi ini masuk dalam kewajiban pemerintah karena perintah Allah pada ayat berikut:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”. (Q.S. al-Nisa’: [4] 58).
Dalam
rangka menjalankan perintah untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak, maka
lembaga perbankan mejadi sarana (wasā’il)
untuk mencapai tujuan (maqāṣid). Para ulama menetapkan kaedah maqāṣidiyyah,
bahwa terhadap sarana itu berlaku hukum tujuan (lil wasā’il hukm
al-maqāṣid). Oleh karena itu, untuk menyikapi Bank
Islami, kita harus memedomani kaedah wasā’il
berikut ini:
إذا تعددت الوسائل الى المقصد الواحد
فتعتبر الشريعة في التكليف بتحصيلها أقوى تلك الوسائل تحصيلا للمقاصد المتوسل إليه
بحيث يحصل كاملا، راسخا، عاجلا، ميسورا.
Apabila
ada beberapa sarana (wasā’il) yang mengantar pada tujuan yang satu (maqāṣid),
maka iktibar syariat dalam taklif melakukannya adalah yang terkuat di antara
sarana tersebut dalam menghasilkan tujuan yang hendak dicapai, yaitu sekiranya
tujuan terwujud sempurna, langsung, cepat dan mudah.
Berdasarkan
kaedah ini, nampak ajaran Islam itu jelas sekali, yaitu mewajibkan umat Islam
untuk mencapai tujuan syariat. Masalahnya terletak pada sarana yang dipilih,
maka sikap kritis harus ditujukan pada detail konsep dan prosedur yang dipakai
sebagai sarana. Mengingat kritik ini menuntut perangkat ilmiah yang kompleks,
maka Islam tidak membebankan upaya kritis kepada seluruh individu umat, tapi
menjadikannya sebagai kewajiban kepada ulama. Dalam hal ini, para ulama
melakukan penelitian dan evaluasi terhadap sistem perbankan yang ada, dan
mengkaji hukum perikatan serta ragam transaksi dalam Islam. Barulah kemudian
para ulama merumuskan sistem perbankan Islami, dan ini tetap terbuka untuk
diuji oleh setiap individu umat asalkan mematuhi prinsip-prinsip ilmiah.
Mengingat
pemerintah telah memilih satu sarana, yaitu sistem perbankan, maka ini
dievaluasi berdasar kaidah; bahwa setiap transaksi yang berlaku fasid, atau
menolak kebaikan, maka itu dilarang (kullu taṣarruf jarra fasādan,
aw dafa‘a ṣilāḥan, fa huwa manhiyun ‘anhu). Kaedah ini
menjadi dasar untuk menentukan sikap terhadap sistem perbankan syariah yang
berlaku sekarang.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI; 2008, 1303),
kata sikap berarti perbuatan yang berdasarkan pada pendirian atau keyakinan.
Maka sikap umat Islam terhadap Bank Islami haruslah berdasar ajaran Al-Qur’an
yang merupakan dasar bagi pendirian atau keyakinan umat Islam.
Hadirin jamaah Jum’at yang dirahmati Allah.
Kiranya
tidak perlu diragukan lagi konsep dan prosedur yang telah dirumuskan oleh para
ulama seperti yang bisa kita baca di dalam kitab-kitab mereka. Hanya saja ada
masalah dalam praktik yang tentu saja bisa diperbaiki secara perlahan. Masalah
ini cukup kompleks, mulai dari penyediaan sumber daya yang trampil, sampai pada
pembiasaan budaya kerja Islami.
Tantangan
terberat kita adalah dalam membangun sikap Islami, yaitu perbuatan yang
didasarkan pada pendirian atau keyakinan Islami. Ini menjadi berat karena
lingkungan kita dipengaruhi oleh berbagai paradigma pikir, seperti kapitalisme,
sekularisme, bahkan hedonisme dan konsumerisme. Paradigma ini merasuk ke dalam lingkungan
perbankan seiring pencitraan modernitas dunia perbankan itu sendiri. Sayangnya
sedikit umat Islam yang menghadirkan paradigma Islami untuk menyuplai kebutuhan
pencitraan dunia perbankan. Namun ini bukan alasan untuk bersikap pesismis
terhadap Bank Islami, dan tidak ada kata terlambat. Wallahu a‘lam
bish shawab.

.jpg)

.jpg)

