
![]() |
Dr.
H. Syukri Muhammad Yusuf, Lc., MA |
Segala puji hanya bagi Allah ﷻ yang telah menyempurnakan agama ini dengan
petunjuk dan kebenaran. Shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad ﷺ,
suri teladan terbaik dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam membina
akhlak dan membentuk adat yang diridhai oleh Allah.
Adat merupakan salah satu aspek penting dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, termasuk di Aceh. Mulai dari hal-hal yang berhubungan
dengan siklus hidup, kehidupan beragama, hubungan kemasyarakatan, ekonomi dan
lingkungan, semuanya diatur dan dijalankan dengan adat. Baik dalam bentuk
pengaturan tata cara upacara, berbahasa, maupun dalam bentuk aturan yang
mengikat (hukum adat).
Hari ini, mari kita renungkan bersama sebuah tema penting tentang
“Memelihara Adat Islami”. Adat Islami bukanlah sekadar budaya turun-temurun
tanpa dasar yang kuat dan utuh, melainkan merupakan warisan yang hidup dari
ajaran Rasulullah ﷺ, yang bersumber dari
wahyu Ilahi dan diamalkan oleh para sahabat.
Memelihara adat Islami berarti melestarikan, menjaga, merawat, dan
mempertahankan berbagai tradisi dan praktik keagamaan Islam yang ada di tengah
masyarakat. Ini melibatkan berbagai upaya, mulai dari mengenali dan menghargai
tradisi tersebut, hingga meneruskannya kepada generasi berikutnya melalui
pendidikan, kegiatan budaya, dan berbagai bentuk interaksi sosial.
Menjaga adat Islami berarti menjaga identitas dan jati diri umat Islam,
karena sejatinya adat yang Islami akan melahirkan masyarakat yang berakhlak
mulia, saling tolong-menolong, dan menjaga ukhuwah.
Hubungan Adat dan Syariat
Islam adalah agama yang lengkap dan fleksibel, mampu hidup berdampingan
dengan budaya apa pun, selama budaya tersebut tidak bertentangan dengan
syariat. Para ulama sejak dahulu telah membahas tentang hubungan antara adat
(tradisi) dan hukum Islam.
Dalam konteks Aceh, adat telah dibentuk dan diselaraskan sedemikian rupa
dengan syariat Islam. Sehingga jika terdapat kebiasaan-kebiasaan yang bertentangan
dengan syariat, maka kebiasaan itu tidak diakomodir sebagai adat Aceh. Hal ini
selaras dengan nilai dasar dari adat Aceh yang menegaskan bahwa: “Adat
ngon hukom lage zat ngon sifeut”. Artinya hubungan adat dan syariat,
seperti hubungan antara zat dengan sifat dari suatu benda. Jika ada kebiasaan
yang bertentangan dengan syariat, maka dinyatakan “bateu” (batal, tidak sah).
Selain itu juga ditegaskan dalam bentuk hubungan lain, yaitu: “Adat ngon
hukom lage mata itam ngon mata puteh”. Artinya hubungan adat dan syariat,
seperti hubungan bagian mata yang hitam dengan yang putih, keduanya saling
melengkapi untuk menguatkan fungsinya.
Berdasarkan nilai-nilai dasar tersebut di atas, tumbuh dan berkembanglah
berbagai adat dalam kehidupan masyarakat Aceh, dari dahulu hingga sekarang.
Sejak era kesultanan Aceh hingga era pasca kolonial.
Proses tumbuh dan berkembangnya adat Aceh pada masa dahulu tidak terjadi
begitu saja, artinya tidak dibiarkan secara bebas kepada masyarakat luas. Akan
tetapi dikawal oleh penguasa pada saat itu dan oleh para ulama. Dalam hal ini,
ulama-lah yang mengkaji dan memutuskan suatu kebiasaan dapat diangkat dan
diterima sebagai adat, setelah para ulama meninjaunya dari sisi syariat dan
mempertimbangkan dari sisi manfaat dan kemaslahatan bagi umat. Melalui tahapan
penyaringan yang demikian, ditetapkan berbagai macam jenis atau bentuk adat dalam
kehidupan masyarakat Aceh.
Jika dilihat dari sisi Syariat, pada umumnya adat-adat yang terbentuk
itu bersumber dari Al- Qur’an dan Hadits Nabi. Sehingga adat-adat tertentu yang
berlaku di Aceh juga ditemukan di negeri-negeri yang berperadaban Islam
lainnya. Namun demikian ada pula adat tertentu yang bisa jadi hanya terdapat di
Aceh atau negeri tertentu, karena dibentuk untuk menjawab tantangan yang
dihadapi masyarakat setempat. Sebagai contoh adalah “adat peunulang” yang
diamalkan (umumnya) oleh masyarakat Aceh Rayeuk dan Pidie.
Rasulullah ﷺ dan Tradisi Jahiliah.
Sebagai
agama yang bijak, Islam tahu bagaimana cara menyikapi tradisi-tradisi yang
sudah bercokol pada zaman jahiliyah. Ada tradisi yang perlu diadopsi atau dipertahankan karena
memiliki semangat yang sama dengan nilai-nilai Islam, ada yang dimodifikasi
karena beberapa isinya tidak lagi relevan, dan ada pula yang dihapus sama
sekali karena dianggap bertentangan dengan syariat.
Rasulullah ﷺ datang tidak untuk
menghapus seluruh budaya Arab pra-Islam. Beliau hanya menghapus yang berbau
syirik, maksiat, atau kezaliman, dan melestarikan adat yang sesuai dengan
tauhid, prinsip keadilan, dan berakhlak mulia. Rasulullah ﷺ bersabda: ”Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang
mulia.” (HR. Ahmad)
Dalam interaksi ini sedikitnya ada tiga model respon Islam dalam menyikapi
tradisi dan budaya masyarakat Arab jahiliyah.
Pertama, tahmil yaitu Islam menyempurnakan tradisi dan budaya yang sudah
dilaksanakan turun temurun oleh masyarakat bangsa Arab. Kedua, taghyir yaitu
merubah atau merekonstruksi tradisi dan budaya yang sudah dilaksanakan dengan
tata cara yang sesuai dengan syariat Islam, namun inti pelaksanaan tradisi
tersebut tetap dilaksanakan dan tidak dilarang. Ketiga, tahrim yaitu Islam
melarang dan mengharamkan tradisi yang sudah mapan pada masyarakat Arab
jahiliyah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Tiga model sikap Islam terhadap tradisi dan kebudayaan masyarakat Arab
jahiliyah, didasarkan pada barometer dari nilai ketauhidan yang menjadi poros
ajaran Islam. Dalam bahasa yang berbeda respon Nabi terhadap tradisi jāhiliyyah
ada tiga. Pertama, tradisi diakomodasi, baik keseluruhan maupun sebagian.
Kedua, tradisi yang secara prinsip tetap dilestarikan dengan sedikit modifikasi
di sana-sini. Ketiga, tradisi yang total ditolak atau total dikoreksi.
Contoh
tradisi jahiliyah yang sama dengan nilai-nilai Islam adalah penghormatan
terhadap empat bulan haram (asyhurul ḫurum). Rasulullah ﷺ memperkuat tradisi penghormatan kepada
bulan-bulan haram dengan melarang peperangan di dalamnya. Sementara
tradisi yang mengalami modifikasi seperti ibadah haji yang sudah eksis sejak
zaman jahiliah. Masyarakat Arab menjalankan ritual-ritual ibadah tersebut sebagaimana
dijalankan oleh umat Islam sekarang ini, yaitu: talbiyyah, iḥram, wukuf dan
lain sebagainya, tapi banyak praktik-praktik yang menyimpang. Di antaranya adalah talbiyyah mereka yang bernuansa syirik dan tawaf secara
telanjang. Setelah kedatangan Islam, kemudian ibadah tersebut diteruskan dengan
penggunaan istilah yang sama namun telah dibersihkan dari hal-hal yang
menyimpang dan berbau syirik. Sedangkan tradisi yang dihapus
sama sekali seperti kebiasaan minum khamr, bermain judi, menyembah berhala dan nikah istibdha’ (nikah
yang dilakukan untuk sekedar memenuhi hasrat nafsu birahi).
Sikap bijaksana ini menjadi contoh teladan bagi umat Islam sampai hari
kiamat kelak dalam menyikapi budaya lokal dan tradisi yang ada di tengah-tengah
masyarakat.
Adat Aceh yang perlu dilestarikan
Berikut ini adalah beberapa contoh adat yang islami yang perlu
dipelihara dan dikembangkan, khususnya yang berkenaan dengan siklus hidup dan kehidupan bermasyarakat.
a.
Adat meminang
calon isteri:
Adat ini berhubungan dengan proses menjajaki calon pengantin perempuan oleh
perwakilan keluarga pihak laki-laki dan pimpinan adat dari gampung asal
keluarga laki-laki. Dalam acara ini, pihak keluarga perempuan juga didampingi
oleh pimpinan adat kampung setempat.
b.
Adat khanduri
walimah
Acara khanduri walimah dalam rangka peresmian
pernikahan atau disebut juga keureuja udep, merupakan ajang silaturrahim dan
saling tolong menolong dalam keluarga dan kehidupan bermasyarakat. Dalam
pelaksanaan khanduri walimah, keluarga inti, kerabat dekat, tetangga, warga se
kampung saling berbagi kemudahan untuk mensukseskan khanduri tersebut. Sehingga
beban yang awalnya terasa berat dapat dilaksanakan dengan baik dan terasa
menjadi ringan.
c.
Adat Peunulang
Peunulang merupakan pemberian sejumlah
harta tertentu dari orang tua kepada anak perempuannya sesuai dengan
kemampuannya. Pemberian ini dilakukan setelah anak perempuannya berkeluarga. Tujuan
pemberian harta ini adalah sebagai bentuk pemberian perlindungan bagi anak
perempuan, jika suaminya meninggal atau terjadinya perceraian. Peunulang biasanya
diberikan dalam bentuk rumah, tanah, kebun atau ternak.
d.
Adat sunat rasul
Adat sunat rasul
adalah upacara
adat yang dilaksanakan dalan rangka khitanan yang dilakukan pada anak laki-laki ketika usianya
sudah mencapai
usia 10 tahun atau
lebih. Dalam adat
ini dilakukan khanduri sesuai kemampuan, peusijuek, nasehat dan do’a.
e.
Adat keureuja mate
Adat keureuja mate merupakan adat yang dilaksanakan dalam rangka
menjalankan fardhu kifayah ketika ada warga yang meninggal dunia. Mulai dari
membantu keluarga yang ditinggalkan dengan segala sesuatu yang diperlukan,
menjelang jenazah dimandikan, dikafankan, dishalatkan, hingga dikuburkan.
Dengan demikian, ahli rumah akan lebih ringan bebannya dalam menghadapi musibah
tersebut.
f.
Adat bertetangga
Adat bertetangga meliputi antara lain: saling tolong
menolong, menjaga ketertiban dan keamanan bersama, berbagi makanan, saling
mengingatkan dan sebagainya.
g.
Adat dua hari raya
Ketika menyambut hari raya Idil Fitri dan Idil Adha setiap keluarga
biasanya menyiapkan berbagai jenis makanan khusus untuk disajikan kepada tamu
yang berkunjung. Selain itu juga mengunjungi orang tua, mertua, saudara, guru
dan kerabat dekat, serta sesepuh warga.
h.
Adat bertamu
Adat bertamu mengatur bagaimana seseorang sepatutnya
berperilaku ketika bertamu ke rumah orang lain. Salah satu diantaranya adalah
larangan seorang lelaki bertamu ke rumah seseorang, jika di rumah tersebut
tidak ada laki-laki yang menjadi mahram dari tuan rumah.
i.
Adat berpakaian
Adat ini mengatur tata kesopanan dalam berpakaian,
baik di dalam rumah maupun di luar rumah, sesuai dengan tuntunan Islam
j.
Adat penyelesaian
sengketa
jika terjadi sengketa dalam keluarga atau dalam
masyarakat, maka para sesepuh keluarga atau pimpinan adat akan mengupayakan
agar dapat terjadinya perdamaian antara kedua belah pihak, baik melalui peumat
jaro maupun melalui peradilan adat.
k.
Adat blang dan adat laot
Salah satu aspek dari adat blang dan adat laot adalah adanya pantang (tidak
melakukan kegiatan) ke sawah dan ke laut pada hari jumat hingga selesainya
shalat Jumat. Bahkan dalam adat laot pantangnya dimulai sejak malam jumat. Adat
ini bertujuan, untuk memastikan agar ibadah shalat jumat dapat diikuti oleh
semua warga
Penutup
Memelihara adat yang Islami, merupakan salah satu bagian penting dari upaya
memperkuat syariat. Dengan berkembangnya adat yang Islami, maka pelaksanaan dan
penerapan syariat juga menjadi lebih kuat. Adat memberi mahar dalam pernikahan, adat gotong royong, adat membangun
masjid, adat syukuran dengan tadarrus Al-Qur'an, memberi makan, adat memberi
salam, bersilturrahmi, tolong-menolong, memuliakan tamu, adat berpakaian,
berbicara, dan bermu’amalah semua itu perlu dilestarikan dalam upaya memperkuat
syariat Islam di Aceh.
Selanjutnya penting juga untuk dijaga dan dikawal agar tidak berkembang
kebiasaan yang tidak selaras dengan syariat. Adat minta berkah di kuburan, adat pesta pernikahan
bercampur laki-laki dan perempuan, adat ziarah dengan ritual menyimpang, adat
sesajen dan semua yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah harus ditolak,
meski telah dilakukan secara turun-temurun.
Memelihara adat Islami bukan hanya kewajiban generasi tua yang sudah lapuk
dimakan usia, tapi juga tanggung jawab kita semua khususnya para pemuda dan
pelajar untuk memastikan keberlangsungannnya kepada generasi-generasi
berikutnya. Karena memelihara
adat Islami berarti menjaga warisan Rasulullah ﷺ dan para sahabat, yang
merupakan bagian dari kepribadian Islam. Bila umat meninggalkan adat Islami dan
menggantinya dengan budaya asing yang bertentangan dengan Islam, maka
perlahan-lahan ruh Islam dan jati diri umat akan hilang dari masyarakat.
Wallahu A’lam.