
![]() |
Tgk. Muzakkir Abdurrahman (Imam Masjid Raya Baiturrahman) |
Pada tahun 1943,
seluruh dunia tahu bahwa pasukan Jerman sedang sekarat di Front Timur, terutama
setelah kekalahan telak di Stalingrad. Tapi rakyat Jerman... tidak tahu. Di
Berlin dan sekitarnya, mereka justru dibombardir dengan berita kemenangan,
heroisme, dan kejayaan lewat siaran radio, film, dan poster besar yang penuh
semangat.
Itu semua adalah bagian dari mesin propaganda Adolf Hitler, yang dikomandoi
oleh Joseph Goebbels. Dengan mengendalikan media, mereka berhasil menggiring
opini publik, menutup realita perang yang berdarah, dan membungkusnya dengan
narasi mulia demi kejayaan bangsa.
Kini, lebih dari 80 tahun berlalu, senjata propaganda itu berevolusi. Ia tak
lagi berupa radio dan pamflet, tapi algoritma dan artificial intelligence. Kita
tak perlu lagi disuruh percaya sesuatu secara langsung—kita hanya diarahkan
pelan-pelan, halus, dan personal, lewat rekomendasi konten yang seolah-olah
netral, padahal penuh kepentingan.
Inilah alasan mengapa hijrah di era digital berarti berpindah dari kebodohan
yang dikemas indah ke kesadaran yang sering kali sunyi. Kita tidak lagi
dikepung peluru, tapi dibanjiri informasi, opini, dan distraksi. Dan semua itu
bisa jadi tak kalah mematikan jika tidak kita pilah dan sadari.
Hijrah Digital: Menjadi Muslim yang Melek Media
Hijrah digital bukan tentang uninstall semua aplikasi. Tapi tentang sadar
terhadap apa yang kita konsumsi, siapa yang kita ikuti, dan apa yang kita
ulang-ulang dalam algoritma kita.
- Dari akun yang menyesatkan ke akun yang membangun.
- Dari konten candu ke konten ilmu.
- Dari buang waktu ke upgrade iman.
"Barang siapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya." (HR. Bukhari & Muslim)
Algoritma akan terus berjalan. Tapi kitalah yang memilih apa yang ingin
kita lihat dan siapa yang ingin kita dengar. Di sinilah letak jihad modern
kita: melawan godaan digital dan menegakkan niat hijrah di tengah badai
informasi.
Karena hari ini, yang mengendalikan opini, mengendalikan dunia. Dan seorang
Muslim yang melek media adalah benteng terakhir dari umat yang tidak ingin lagi
tertipu oleh kemasan dunia maya.
---
Kewaspadaan terhadap Tipuan Era Modern: Visual, Narasi, dan Playing Victim
Umat Islam kini menghadapi tantangan besar bukan hanya dalam bentuk fisik,
melainkan dalam bentuk narasi yang dibungkus indah. Salah satu bentuknya adalah
fenomena "playing victim" yang digunakan untuk membalikkan persepsi
dunia terhadap pelaku dan korban.
Dunia maya memungkinkan siapa saja menciptakan realitas semu. AI mampu
menghasilkan wajah-wajah palsu, suara palsu, bahkan video yang tampak nyata.
Visualisasi penderitaan bisa direkayasa, testimoni bisa dikarang, dan emosi
publik bisa dikendalikan hanya dengan satu potongan klip berdurasi 30 detik.
Imam Al-Ghazali pernah memperingatkan:
"Jangan engkau melihat hak sebagai sesuatu yang besar karena banyaknya
pengikutnya, dan jangan engkau melihat batil sebagai kecil karena sedikitnya
pendukungnya."
Sayangnya, awam dari umat Islam belum memahami sepenuhnya bagaimana
propaganda bekerja. Mereka tidak menyadari betapa kuatnya efek penggiringan
opini dalam dunia digital. Padahal, media sosial kini telah menjadi medan
perang, dan "ghazw al-fikri" (perang pemikiran) jauh lebih berbahaya
dari perang bersenjata.
Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian seorang
fasik membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya..." (QS.
Al-Hujurat: 6)
Serbuan Aplikasi: Antara Kemudahan dan Ancaman Dunia Akademis
Di sisi lain, era digital juga membawa kemudahan luar biasa dalam dunia
pendidikan. Tapi di sinilah bahayanya: kemudahan yang tanpa kontrol akan
melahirkan ketergantungan yang melemahkan.
Banyak aplikasi yang dirancang untuk membantu menulis, menerjemahkan, bahkan
membuat esai dan tugas akademik. Namun ketika digunakan tanpa etika, ia menjadi
alat kemalasan dan penyebab runtuhnya nalar kritis.
Fenomena ini menegaskan pentingnya "hijrah akademik", yaitu berpindah
dari ketergantungan pada teknologi menjadi pemanfaatan yang bijak dan bermoral.
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibn Qayyim:
"Ilmu itu bukan banyaknya riwayat, tetapi cahaya yang Allah tanamkan di
dalam hati."
Penutup
Umat Islam harus bangkit. Hijrah hari ini bukanlah dari Makkah ke Madinah, tapi
dari ruang gelap algoritma ke cahaya ilmu dan kesadaran. Dari pasif sebagai
konsumen informasi ke aktif sebagai pemilah dan penjaga akidah.
Propaganda, manipulasi opini, dan godaan digital akan terus ada. Tapi siapa
yang mampu hijrah dengan sadar dan istiqamah, maka ia telah menjadi bagian dari
barisan yang Allah janjikan kemenangan:
"Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka dizalimi,
pasti Kami akan tempatkan mereka di dunia ini pada tempat yang baik. Dan
sungguh, pahala di akhirat lebih besar, jika mereka mengetahui." (QS.
An-Nahl: 41)