
![]() |
Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, Lc.,MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman) |
QS. Al-Isra’ ayat 59:
Artinya: " Dan tidak ada yang menghalangi Kami untuk
mengirimkan mukjizat-mukjizat (yang diminta) itu, melainkan karena orang-orang
dahulu telah mendustakannya. Dan Kami telah memberikan kepada kaum Tsamud unta
betina (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat dengan jelas, tetapi mereka
menzaliminya. Dan Kami tidak mengirimkan mukjizat-mukjizat itu melainkan untuk
menakut-nakuti.”(QS. Al-Isra’ ayat 59)
Ayat
di atas merupakan jawaban dari pertanyaan atau permintaan dari orang-orang
musyrik Mekah yang menginginkan agar Nabi Muhammad ﷺ
menunjukkan mukjizat-mukjizat besar, seperti yang diturunkan kepada nabi-nabi
terdahulu. Allah menjelaskan bahwa bukan karena Dia tidak mampu mengirimkan
mukjizat tersebut, tetapi karena pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa
orang-orang yang telah diberi mukjizat tetap mengingkarinya.
Dalam
rentetan sejarah agama di dunia, tercatat bahwa umat-umat terdahulu, seperti
kaum Tsamud, telah menyaksikan mukjizat yang nyata dan luar biasa. Salah satu
mukjizat yang diberikan Allah kepada mereka adalah seekor unta betina yang
keluar dari batu, sebagai tanda kenabian Nabi Shalih. Unta tersebut memiliki
ciri-ciri khusus dan menjadi bukti kekuasaan Allah yang tidak bisa disangkal
oleh akal manusia. Meskipun mukjizat tersebut sangat jelas dan luar biasa, kaum
Tsamud tetap bersikap angkuh. Mereka tidak hanya mengingkari mukjizat itu,
tetapi bahkan melakukan kezaliman dengan membunuh unta tersebut. Tindakan ini
menunjukkan bahwa keingkaran mereka bukan karena kurang bukti, tetapi karena
kesombongan dan hati yang keras dan permusuhan yang nyata.
Oleh
sebab itulah, Allah tidak menurunkan mukjizat kepada Nabi Muhammad ﷺ seperti yang mereka minta. Allah
mengetahui bahwa pola penolakan yang sama akan terulang—mereka hanya mencari
alasan untuk tetap dalam kekafiran, bukan untuk benar-benar percaya. Oleh
karena itu, Allah memilih bentuk peringatan lain yang lebih sesuai, yaitu
melalui Al-Qur’an yang penuh hikmah dan petunjuk yang langsung mengetuk akal
dan hati nurani mereka, tentang kebenaran risalah ilahi.
Kemudian
pada akhir ayat, Allah menjelaskan bahwa tujuan dari pengiriman mukjizat pada
dasarnya bukan untuk hiburan atau sekadar menunjukkan keajaiban, tetapi sebagai
peringatan dan rasa takut agar manusia kembali kepada kebenaran. Mukjizat
hanyalah sarana untuk mengingatkan manusia akan kuasa dan ancaman Allah jika
mereka tetap membangkang.
Ala
kulli hal, ayat ini mengajarkan bahwa keimanan sejati tidak tergantung pada
mukjizat yang luar biasa, tetapi pada hati yang terbuka terhadap kebenaran.
Mukjizat tidak akan berguna bagi orang yang hatinya tertutup. Allah mengarahkan
umat manusia untuk menggunakan akal, hati, dan wahyu sebagai dasar keimanan,
bukan semata-mata menunggu kejadian luar biasa di luar nalar dan sesuatu yang
dianggap mustahil. Wallahu al-Musta’an.