
![]() |
Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, Lc.,MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman) |
Tafsir Al-Qur'an Oleh : Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, Lc.,MA
Surah Al-Isra’
ayat 61:
"
"Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: 'Sujudlah kalian kepada
Adam,' lalu mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia berkata, 'Apakah aku harus sujud
kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?” (QS. Al-Isra
ayat 61)
Ayat
ini mengingatkan kembali kepada kisah penciptaan manusia pertama, yaitu Nabi
Adam ‘alaihis salam, dan perintah Allah kepada para malaikat untuk bersujud
sebagai bentuk penghormatan, bukan ibadah. Hal ini disebutkan berulang kali
oleh Allah SWT di berbagai redaksi al-Qur’an. Namun diksi ‘sujud’ di sini bukan
bentuk penyembahan kepada Adam AS, namun sujud ini merupakan bentuk pengakuan
terhadap kemuliaan Adam yang Allah berikan karena keilmuannya dan karena telah
ditiupkan ruh dari-Nya.
Dijelaskan
dalam al-Qur’an bahwa golongan malaikat menaati perintah Allah SWT dan bersujud
kepada Adam, kecuali Iblis. Penolakan Iblis menjadi bukti awal kesombongannya. Iblis,
sebagaimana disebutkan dalam beberapa tafsir, diantaranya menurut Tafsir Ibnu
Katsir, bahwa Iblis termasuk golongan jin, bukan malaikat, tetapi ia dahulu berada
di tengah-tengah para malaikat karena kesalehannya, sehingga ia pun turut
diberi perintah. Namun, Iblis berani menjawab dan menanggapi perintah Allah SWT
dengan pongah dan kesombongan yang belum pernah sebelumnya terjadi.
Ucapan
Iblis dalam ayat ini menunjukkan sikap membangkang dan arogan. Ia menganggap
dirinya lebih baik daripada Adam karena merasa diciptakan dari api, sementara
Adam hanya dari tanah. Pandangan ini mencerminkan logika keliru yang menjadi
dasar kesombongannya. Hal tersebut juga sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir
Al-Muyassar, bahwa Iblis tidak menerima kenyataan bahwa seseorang yang
diciptakan dari tanah lebih mulia dari dirinya, yang meyakini bahwa unsur penciptannya
lebih mulia, yaitu dari api.
Penolakan
sujud oleh Iblis tidak hanya merupakan tindakan tidak taat, tetapi juga
menunjukkan penentangan terhadap keputusan Allah. Ia mempertanyakan hikmah dan
kebijaksanaan Allah dalam menciptakan makhluk yang dari tanah, seolah-olah
penciptaan itu kurang pantas untuk dihormati. Ini adalah bentuk kufur yang
nyata.
Diuraikan
dalam Tafsir Jalalayn, Iblis merasa lebih mulia karena unsur api dianggap lebih
ringan, terang, dan cepat, sementara tanah dianggap lebih rendah dan berat.
Namun, Allah tidak menilai dari unsur penciptaan, melainkan dari ketaatan,
ilmu, dan kemuliaan ruh. Ini mengajarkan bahwa kemuliaan di sisi Allah tidak
diukur dari asal-usul atau status, tetapi dari keimanan dan ketakwaan.
Ala
kulli hal, ayat ini menjadi peringatan bagi manusia agar tidak jatuh ke
dalam sifat sombong dan membangkang seperti Iblis. Kesombongan adalah penyakit
hati yang menyebabkan seseorang menolak kebenaran dan merendahkan yang lain. Konsekuensi
kesombongan Iblis ini ternyata yang menyebabkan ‘permusuhan abadi’ antara
bangsa manusia dan Iblis serta golongannya sampai hari kiamat. Dari sini, kita belajar bahwa ketaatan kepada
Allah harus didasari oleh keikhlasan dan kerendahan hati, bukan perasaan lebih
tinggi dari orang lain. Wallahu al-musta’an.