
![]() |
Prof. Dr. H. M. Yasir Yusuf, MA (Penceramah Masjid Raya Baiturrahman) |
Wisata dalam Perspektif Islam
Oleh: Ustaz Prof. Dr. H. Muhammad Yasir Yusuf, MA
Kali ini kita bahas tentang fenomena wisata yang berkembang pesat saat ini, lalu dikaitkan dengan konsep safar atau perjalanan dalam ajaran Islam. Wisata secara umum adalah suatu perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, yang dilakukan oleh individu atau kelompok, dengan tujuan melihat dan mengenali perkembangan budaya, keindahan alam, serta berbagai potensi suatu daerah, tanpa ada niat untuk menetap di sana.
Saat ini dikenal berbagai jenis wisata, antara lain, pertama, wisata religi, yaitu perjalanan wisata yang disertai pelaksanaan ibadah. Contohnya, perjalanan umrah yang sekaligus menjadi kesempatan untuk menyaksikan keindahan dan sejarah kota suci Mekkah, Madinah, serta tempat-tempat bersejarah lainnya.
Kedua, wisata halal: wisata yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan ibadah dan menjaga nilai-nilai kehalalan, seperti tersedianya tempat shalat di hotel, adanya sajadah dan penunjuk arah kiblat di kamar, serta memastikan makanan yang dikonsumsi halal. Wisata ini juga menjaga batasan syar’i seperti larangan berpergian dengan non-mahram.
Ketiga, wisata syariah: wisata yang dikemas sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, baik dari aspek akidah, ibadah, maupun muamalahnya. Jenis wisata ini tentu diperuntukkan bagi umat Islam yang ingin menjaga syariat dalam seluruh aktivitas perjalanannya.
Bagaimana pandangan Islam tentang wisata atau safar? Al-Qur’an banyak mendorong manusia untuk melakukan perjalanan di muka bumi, antara lain disebutkan dalam Surah Nuh ayat 19–20, yang artinya: “Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, agar kamu dapat berjalan di atasnya di jalan-jalan yang luas.”
Selain itu, Rasulullah SAW bersabda: “Bepergianlah kamu, maka kamu akan memperoleh rezeki.” Khalifah Umar bin Khattab juga menganjurkan bepergian demi memperluas wawasan dan mencari rezeki yang halal.
Para ulama sepakat, safar atau wisata dalam Islam dibolehkan. Perjalanan bisa menjadi sarana menambah wawasan keagamaan, memperluas pengetahuan budaya, dan mempererat persaudaraan antarbangsa.
Contohnya, dalam perjalanan haji atau umrah, jamaah dapat berinteraksi dengan berbagai suku bangsa, saling belajar dari kebaikan masing-masing.
Terkait dengan wisata di Aceh, pelaksanaannya tentu harus berlandaskan syariat Islam. Tidak diperkenankan ada hal-hal yang bertentangan dengan syariat, seperti perbuatan keji, kemaksiatan, atau penyediaan minuman keras.
Aceh sebagai daerah bersyariat memiliki tanggung jawab memastikan wisata yang berkembang tetap dalam koridor halal dan thayyib.
(Disarikan oleh Darmawan Abidin dan Abu Lampanah dari ceramah shubuh di Masjid Raya Baiturrahman, Rabu, 9 Juli 2025/14 Muharram 1447)