
Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, Lc.,MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman) |
Surat
Al-Isra Ayat 60:
“Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman
kepadamu: ‘Sesungguhnya Tuhanmu meliputi manusia.’ Dan tidaklah Kami menjadikan
mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai cobaan bagi
manusia, dan (demikian pula) pohon yang terkutuk dalam Al-Qur’an. Kami
menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah mereka dalam
kedurhakaan yang besar." (QS.
Al-Isra ayat 60)
Ayat
ini diturunkan sebagai penghibur bagi Nabi Muhammad ﷺ
saat menghadapi penolakan dan permusuhan dari orang-orang kafir Quraisy. Allah
mengingatkan bahwa Dia Maha Mengetahui dan Maha Berkuasa atas seluruh manusia,
serta meliputi mereka dengan ilmu dan kekuasaan-Nya. Pernyataan bahwa
"Tuhanmu meliputi manusia" mengandung makna bahwa tidak ada yang bisa
keluar dari pengawasan atau kekuasaan-Nya, termasuk para musuh dakwah Nabi. Ini
adalah bentuk keteguhan bahwa kemenangan berada di pihak Rasulullah dan
kebenaran Islam.
Kemudian
Mayoritas mufasir, seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi, menyebut bahwa yang
dimaksud dengan "ru'yā" dalam ayat ini adalah peristiwa Isra’ dan
Mi’raj. Perjalanan Nabi Muhammad ﷺ
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, dan kemudian ke langit, dilihat oleh
sebagian orang sebagai hal yang tidak masuk akal, sehingga menjadi ujian
keimanan. Ada yang murtad karena tidak mempercayai kejadian tersebut.
Karenanya, peristiwa itu disebut sebagai fitnah
(ujian) bagi manusia, untuk membedakan siapa yang beriman dan
siapa yang tidak.
Adapun
terkait "pohon yang terkutuk dalam Al-Qur’an", banyak mufasir seperti
Mujahid, Qatadah, dan Sa'id bin Jubair, menafsirkan bahwa itu merujuk kepada pohon Zaqqum yang disebutkan dalam Surah
Ash-Shaffat dan Ad-Dukhan. Pohon ini tumbuh di dasar neraka Jahannam dan
menjadi makanan bagi para penghuni neraka. Penyebutannya menjadi sumber ejekan
bagi orang kafir karena dianggap tidak masuk akal—mereka bertanya bagaimana
pohon bisa tumbuh di neraka. Ini pun menjadi ujian keimanan bagi mereka.
Dua
hal yang disebutkan tersebut merupakan bentuk istidraj dan ujian dari Allah kepada manusia. Dalam
tafsir Al-Baghawi, dijelaskan bahwa keduanya menjadi sarana untuk membedakan
antara orang-orang yang bersedia menerima kebenaran meski tidak bisa mereka
pahami secara rasional, dengan mereka yang hanya mau menerima sesuatu jika
sesuai dengan akal mereka yang terbatas. Keimanan yang tulus diuji dengan
hal-hal gaib yang tidak dapat diindera.
Ayat ini juga menyoroti bagaimana reaksi kaum musyrikin terhadap
peringatan dari Allah. Alih-alih takut atau insaf, mereka justru menjadi
semakin sombong dan keras kepala. Dalam penutup ayat ini disebutkan bahwa
peringatan-peringatan yang diturunkan Allah hanya menambah “ṭughyān” (kedurhakaan) mereka. Ini
menunjukkan watak dasar orang kafir Quraisy yang keras hati dan enggan menerima
kebenaran.
‘Ibrah
yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah bahwa tidak semua ujian berupa
penderitaan; terkadang justru peristiwa luar biasa (miracle) bisa menjadi ujian
keimanan. Selain itu, ayat ini menekankan pentingnya percaya pada wahyu
meskipun sulit dipahami secara akal. Ujian keimanan masih relevan hingga kini,
ketika sains dan logika menjadi standar kebenaran bagi sebagian orang. Ayat ini
mengajak kita untuk menundukkan akal kepada wahyu, bukan sebaliknya. Wallahu
al-Musta’an