
![]() |
Abu Paya Pasi (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman) |
Pada masa
Khulafaur Rasyidin, terdapat banyak kebijakan dan ijtihad yang menjadi dasar
perkembangan hukum Islam. Salah satunya adalah pada masa Khalifah ketiga,
Sayyidina Usman bin Affan.
Di masa
Rasulullah SAW, azan hanya dikumandangkan sekali. Namun, pada masa Sayyidina
Usman, azan ditetapkan dua kali. Beliau juga berjasa memperbanyak mushaf
Al-Qur’an agar dapat tersebar luas ke berbagai daerah.
Perbedaan ini
dapat diibaratkan seperti seseorang yang berjalan hanya dengan satu sandal
tentu terasa kurang nyaman. Tetapi jika menggunakan keduanya, langkah menjadi
lebih baik. Maka, azan pertama adalah sunnah Rasulullah SAW, sedangkan azan
kedua adalah sunnah Khulafaur Rasyidin, yaitu Sayyidina Usman.
Pada masa
Sayyidina Abu Bakar, Al-Qur’an berhasil dihimpun seluruhnya karena saat itu
belum banyak masalah baru. Masa beliau relatif singkat, sehingga belum banyak
persoalan yang membutuhkan ijtihad.
Berbeda dengan
masa Sayyidina Umar bin Khattab yang memimpin lebih dari sepuluh tahun. Saat
muncul persoalan baru, beliau selalu mendahulukan Al-Qur’an sebagai dalil utama,
kemudian hadis. Jika tidak ditemukan dalil langsung, beliau akan bertanya
kepada para sahabat: “Apakah Rasulullah pernah bersabda tentang hal ini?” Jika
ada riwayat meskipun sedi- kit, tetap digunakan karena semua sahabat dikenal
adil. Bila tidak ada, barulah beliau melakukan ijtihad (ifta’).
Ijtihad
tersebut kemudian diikuti oleh Sayyidina Usman dan Sayyidina Ali. Namun, Sayyidina
Umar menegaskan kepa- da Ali: “Jangan ikuti aku secara buta. Engkau seorang
alim, jika aku salah, jangan dianggap benar hanya karena aku Umar.” Hal ini
menunjukkan bahwa ijtihad bukan sekadar mengikuti pribadi, tetapi bagian dari
upaya kolektif para mujtahid.
Apabila para
mujtahid sepakat dalam satu pandangan, maka terbentuklah ijma’. Rasulullah SAW
bersabda: “La tajtami’u ummati ‘ala dhalalah.” Umatku tidak akan bersepakat
dalam kesesatan.
Dengan
demikian, ijma’ menjadi pondasi hukum setelah Al-Qur’an dan hadis. Contohnya,
setelah wafat Rasulullah SAW, seluruh sahabat sepakat mengangkat Sayyidina Abu
Bakar sebagai khalifah. Demikian pula ketika Abu Bakar wafat, mereka sepakat
menunjuk Sayyidina Umar sebagai pengganti. Karena tidak ada perbedaan pendapat,
hal ini termasuk ijma’.
Maka, urutan
dasar hukum Islam adalah Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Qiyas. Dari sinilah kemu-
dian muncul para mujtahid setelah masa Khulafaur Rasyidin. Tercatat ada delapan
belas mujtahid, dan yang paling berpengaruh adalah empat imam mazhab besar:
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Meskipun
masa Khulafaur Rasyidin telah berlalu, pedoman yang mereka tinggalkan menjadi
fondasi kokoh bagi para ulama berikutnya.
Seiring
berkembangnya zaman, masalah-masalah baru pun bermunculan. Imam Syafi’i kemudian
merumuskan kaidah-kaidah usul fiqh agar ijtihad lebih terarah. Dari situlah
terbentuk sistem hukum Islam yang terus bertahan hingga kini.
Selain fiqih,
umat Islam juga memiliki landasan dalam tauhid dan tasawuf. Dalam bidang tasawuf,
salah satu tokoh penting adalah Junaid al-Baghdadi, murid ulama besar yang
hidup setelah Imam Syafi’i. Pemikiran beliau kemudian disebarkan lebih luas
oleh Imam al-Ghazali. Dalam bidang tauhid, sekitar 55 tahun setelah wafatnya
Imam Syafi’i lahirlah dua mazhab besar: Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi.
Di Indonesia,
khususnya Aceh, mayoritas ulama mengikuti mazhab Imam Syafi’i dalam fiqih,
mazhab Abu Hasan al-Asy’ari dalam tauhid, serta tasawuf Imam al-Ghazali. Namun,
umat Islam tetap diperbolehkan mengikuti salah satu dari empat mazhab fiqih,
sesuai dengan ulama dan tradisi yang ada di wilayah masing-masing.
Dengan
demikian, ajaran Khulafaur Rasyidin telah meletakkan pondasi penting dalam
syariat Islam, yang kemudian dilanjutkan oleh para imam mazhab hingga dapat
kita ikuti sampai hari ini. Dasar-dasar inilah yang menjaga kesatuan umat,
dengan fondasi tauhid, fiqih, dan tasawuf yang kokoh.