
Tgk. H. Munawir Darwis (Imam MRB) |
Menjaga Lisan dan Kehormatan
Oleh: Tgk. H. Munawir Darwis, Lc, MA
Marilah kita perhatikan sejenak pelajaran dari hadis Rasulullah SAW yang terdapat dalam kitab Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi, seorang ulama besar dalam mazhab Syafi‘i. Salah satu bab penting dalam kitab tersebut adalah hifzhul lisan, menjaga lisan.
Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Ghibah adalah engkau menyebut sesuatu tentang saudaramu yang tidak ia sukai.”
Para sahabat bertanya, “Bagaimana jika yang aku katakan memang benar ada pada dirinya?” Nabi SAW menjawab, “Jika benar ada padanya, maka engkau telah menggibahnya. Jika tidak ada padanya, maka engkau telah memfitnahnya.”
Dengan ini, Rasulullah SAW telah menunjukkan betapa berbahayanya lisan. Ghibah mencakup menyebut kekurangan fisik seseorang (‘aib khilqiy), sifat dan perilaku buruknya (‘aib khuluqiy), atau bahkan kelemahan dalam beragama (‘aib diniy). Semua itu dilarang karena merusak kehormatan orang lain.
Dampak Buruk Lisan
Lisan yang tidak terjaga bisa menimbulkan permusuhan, dendam, bahkan tragedi. Ada kisah seorang anak kecil yang sering mengejek seorang pemuda karena kekurangannya. Akhirnya pemuda itu merasa sakit hati, dendam, lalu melakukan perbuatan keji yang berujung petaka. Peristiwa ini menjadi pelajaran bahwa ejekan, meskipun tampak sepele, bisa berakibat fatal.
Dalam kehidupan Nabi sendiri, pernah terjadi peristiwa ketika Aisyah radhiyallahu ‘anha merasa cemburu kepada salah satu istri Nabi, yaitu Shafiyah. Karena emosi, Aisyah menyebut Shafiyah bertubuh pendek.
Rasulullah SAW sangat marah dan bersabda, “Wahai Aisyah, engkau telah mengucapkan satu kata yang seandainya dicampur dengan air laut, niscaya akan merusaknya.” Begitu dahsyat akibat buruk dari ucapan yang merendahkan orang lain.
Kapan Ghibah Diperbolehkan?
Para ulama menjelaskan, tidak semua ghibah haram. Ada beberapa kondisi yang dibolehkan, di antaranya, petama, mengadu karena dizalimi (at-tazhallum). Orang yang teraniaya boleh menceritakan perlakuan zalim yang menimpanya kepada pihak berwenang.
Kedua, meminta fatwa (al-istifta). Seseorang yang mengalami masalah, misalnya KDRT, boleh menceritakan perilaku pasangannya kepada ulama atau hakim demi mendapatkan nasihat dan jalan keluar.
Ketiga, musyawarah pernikahan (al-musyawarah fi mushaharah). Dalam proses memilih jodoh, boleh dijelaskan sifat buruk calon pasangan untuk menjaga kemaslahatan rumah tangga.
Sebagai contoh, pernah seorang perempuan bernama Fatimah binti Qais dilamar oleh tiga sahabat: Abu Jahm, Muawiyah bin Abi Sufyan, dan Usamah bin Zaid. Fatimah meminta pendapat Nabi SAW. Beliau menjelaskan bahwa Abu Jahm dikenal keras dan suka memukul, sementara Muawiyah belum mapan secara ekonomi.
Nabi lalu menganjurkan agar Fatimah menikah dengan Usamah bin Zaid. Dari kisah ini tampak bahwa menyebut kekurangan seseorang boleh dilakukan dalam konteks musyawarah untuk kebaikan.
Dapat kita simpulkan, lisan amanah yang harus dijaga. Dengan lisan, seseorang bisa meraih surga, tetapi dengan lisan pula ia bisa terjerumus ke dalam neraka. Karena itu, mari kita berhati-hati dalam berkata. Jangan sampai lisan kita melukai, mengejek, atau merendahkan orang lain. Sebaliknya, gunakanlah lisan untuk berkata baik, memberi nasihat, dan menyebarkan kebaikan.
(Disarikan oleh Sayed M. Husen dari Halqah Maghrib Masjid Raya Baiturrahman, 29 September 2025)