
![]() |
Dr. Tgk. Yusrizal Zainal, M.Si |
Islam merupakan agama dari -Pencipta manusia- yang sempurna,
terbaik, yang syariatnya melingkupi seluruh aspek kehidupan (QS.an Nahl; 89)
seperti aqidah, ibadah, akhlak, politik, ekonomi, pendidikan, sosial dll. Namun dalam upaya penerapan syariatnya secara
kaffah, sering menghadapi tantangan. Diantara tantangan yang dihadapi adalah
pemahaman yang parsial tentang Islam bahkan pandangan dan stigma negatif
tentang Islam.
Sebagian menganggap sama saja antara Islam dengan bukan
Islam dan tidak ada urgensinya untuk menerapkan tatanan Islam kaffah termasuk
menerapkan sistem ekonomi Islam. Hal ini disebabkan karena tidak memahami
karakteristik dan perbedaan mendasar antara sistem ekonomi Islam dengan yang
selainnya. Oleh karena itu menjadi penting untuk memahami dan mendapatkan
gambaran besar (big picture) dan contoh dari tatanan sistem tersebut.
Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah forum pelatihan
keagamaan yang tak biasa, seorang ustadz (yang merupakan guru penulis) diundang
untuk menjadi pembicara di hadapan para pendeta untuk menjelaskan tentang
konsep penerapan syariat Islam secara kaffah. Bukan sekadar ceramah lintas
iman, pertemuan ini menjadi arena intelektual yang mengguncang paradigma para
peserta—terutama saat sang ustadz mengurai keunggulan sistem ekonomi Islam
dibandingkan kapitalisme dan sosialisme-komunisme.
Sang ustadz membuka paparannya dengan menyajikan struktur
syariat Islam dalam satu lembar gambar sederhana. Ia menjelaskan bahwa seluruh
ajaran Islam dapat diringkas dalam tiga dimensi besar: hubungan manusia dengan
Allah (aqidah dan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (etika,
pakaian, makanan), dan hubungan manusia dengan sesama (sistem sosial, ekonomi,
politik, dan pemerintahan). Dimensi ketiga inilah—yang mengatur urusan
publik—yang disebut sebagai implementasi syariat Islam secara kaffah.
Kemudian, sang ustadz menantang para peserta dengan satu
pertanyaan tajam: “Jika dimensi ketiga ini diterapkan di Indonesia, akankah
terjadi benturan dengan Kristen, Hindu, atau Budha?” Banyak pendeta awalnya
menjawab, “Ya, pasti terjadi benturan.” Namun ustadz itu menjawab tegas, “Salah
besar.”
Mengapa tidak terjadi benturan? Karena ajaran agama-agama
tersebut tidak mencakup sistem kehidupan publik seperti sistem pemerintahan,
sistem ekonomi, atau politik luar negeri. Ajaran mereka, jelasnya, hanya
menyentuh dimensi aqidah dan akhlak. Maka saat Islam menghadirkan sistem
ekonomi dan sosial sebagai bagian dari wahyu, tak ada konflik ideologis dengan
agama-agama—tetapi akan berbenturan dengan dua ideologi besar dunia:
kapitalisme dan sosialisme-komunisme.
Dengan jernih, ustadz tersebut menjelaskan bahwa hanya ada
dua ideologi yang memenuhi syarat sebagai mabda’ (ideologi) sejati: kapitalisme
dan sosialisme. Keduanya berangkat dari pemikiran dasar yang memunculkan sistem
kehidupan menyeluruh—dan inilah yang menjadi rival sejati Islam dalam mengatur
negara dan masyarakat.
Lalu muncul pertanyaan penting: Kalau kita cinta Indonesia,
ideologi apa yang paling tepat untuk mengatur negeri ini? Saat mayoritas
peserta menjawab "kapitalisme", ustadz itu mengajak mereka menelaah
lebih dalam.
Ia memaparkan kisah tentang harga SIM card di era 1990-an
yang mencapai jutaan rupiah karena dimonopoli negara. Ketika sistem pasar bebas
mulai diberlakukan, harga SIM card anjlok hingga gratis karena kompetisi sehat
antar swasta. “Inilah keunggulan kapitalisme,” katanya, “harga turun, kualitas
naik, konsumen senang.”
Namun setelah pujian itu, sang ustadz memutar haluan. Dengan
nada tajam ia mengungkap, jantung dari kapitalisme adalah bank dan pasar
modal—pusat arus uang yang dikendalikan oleh segelintir elit ekonomi. Bank
hanya memberikan kredit pada yang sudah kaya: usaha besar dengan jaminan kuat.
Maka, uang terus mengalir ke satu arah—membesarkan yang sudah besar. Dampaknya?
Kesenjangan. Sebuah kutukan struktural dalam kapitalisme: si kaya semakin kaya,
si miskin makin terpinggirkan.
Para pendeta mulai gelisah. Mereka menyadari bahwa sistem
yang mereka pilih tadi justru menciptakan ketidakadilan struktural.
“Lalu bagaimana dengan sosialisme-komunisme?” tanya sang
ustadz.
Ia menggambarkan dengan satir: demi menghapus kesenjangan,
sosialisme mencabut seluruh kepemilikan individu. Semua jadi milik negara.
Semua orang jadi pekerja negara. Gaji sama, hak sama. Tapi, di situ pula
masalah muncul: tidak ada insentif untuk bekerja keras. Mengapa harus bersusah
payah jika yang malas pun dapat gaji yang sama? Inilah akar kehancuran
negara-negara sosialis: tidak sesuai fitrah manusia. Fitrah untuk memiliki dan
berkembang dipaksa sirna.
Kini para pendeta ditarik ke titik refleksi. Kalau
kapitalisme menciptakan jurang, dan sosialisme menumpulkan motivasi, maka apa
alternatifnya?
Ustadz itu menjawab lantang: Islam. Sistem ekonomi Islam
hadir bukan dari asumsi manusia, tapi dari wahyu. Islam membagi kepemilikan
secara bijak menjadi tiga: kepemilikan individu (milkiyah fardiyah),
kepemilikan umum (milkiyah ammah), dan kepemilikan negara (milkiyah
daulah). Tambang, listrik, air, jalan raya—semua milik umum dan dikelola
negara untuk kesejahteraan rakyat.
Milkiyah ‘ammah merujuk pada harta yang secara syar’i tidak
boleh dimiliki oleh individu atau negara, karena merupakan milik kolektif umat.
Contohnya adalah air, padang rumput, api (energi), dan segala sumber daya yang
jika dikuasai individu bisa merugikan kepentingan umum seperti hutan, sungai,
laut, termasuk tambang.
Rasulullah SAW bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ
فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّار
Artinya: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu
padang rumput, air dan api. (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Para ulama menafsirkan “api” sebagai simbol energi—termasuk
bahan bakar, listrik, dan sumber daya energi lainnya.
Rasululullah dalam suatu hadist (HR. Tirmidzi), pernah
meminta kembali tambang garam yang telah diberikan kepada Abidh bin Hamal,
setelah nengetahui bahwa garam tersebut depositnya sangat banyak dan tidak
terbatas. Ini merupakan dalil larangan atas individu untuk memiliki tambang
yang depositnya sangat banyak.
Kemudian sang ustadz memaparkan: jika hanya satu tambang
seperti Freeport bisa menghasilkan potensi pendapatan ratusan triliun rupiah,
maka seluruh kebutuhan dasar masyarakat bisa digratiskan: pendidikan dari SD
hingga S3, rumah sakit berkualitas, perumahan rakyat, bahkan listrik dan BBM
pun bisa gratis. Tak ada jalan tol berbayar, tak ada air bersih yang harus
dibeli. “Rakyat tak perlu lagi hidup dalam tekanan ekonomi,” tegasnya.
Dalam sistem Islam, pemerintah tidak duduk sebagai pelaku
pasar seperti kapitalisme, juga tidak sebagai penguasa absolut seperti
komunisme. Pemerintah berfungsi sebagai pengatur dan pelindung kepentingan
rakyat, menjaga keadilan distribusi, dan menjamin kebutuhan dasar
terpenuhi. Hidup menjadi penuh berkah
bukan penuh beban.
Sesi itu ditutup dengan suasana hening. Para pendeta tak
lagi bersikukuh mempertahankan kapitalisme. Beberapa bahkan mulai bertanya
lebih dalam tentang ekonomi Islam. Apa yang semula menjadi ajang “training”
lintas iman, justru menjadi ruang tadabbur kebijakan publik dan ideologi dunia
yang sangat fundamental.
Kisah ini bukan tentang debat antaragama. Ini tentang
membongkar mitos dan membuka mata bahwa Islam bukan agama yang menakutkan,
bukan sekadar agama ritual, tapi sistem hidup yang menyeluruh—dan satu-satunya
jalan alternatif bagi negeri yang ingin benar-benar merdeka dari penjajahan
ekonomi dan sangat bisa menaungi semua agama, menebar kesejahteraan kepada
manusia. Di akhir sesi, para pendeta bertanya bagaimana cara dan kapan syariat
Islam dapat diterapkan di Indonesia secara kaffah?