Judul Terbaru

    Back Groud MRB (atas)


     

    Pengumuman

    Jadwal Shalat

    Mereka Pun Rindu Ekonomi Islam

    Kamis, 22 Mei 2025, Mei 22, 2025 WIB Last Updated 2025-05-22T14:56:26Z

     

    Dr. Tgk. Yusrizal Zainal, M.Si


    Islam merupakan agama dari -Pencipta manusia- yang sempurna, terbaik, yang syariatnya melingkupi seluruh aspek kehidupan (QS.an Nahl; 89) seperti aqidah, ibadah, akhlak, politik, ekonomi, pendidikan, sosial dll.  Namun dalam upaya penerapan syariatnya secara kaffah, sering menghadapi tantangan. Diantara tantangan yang dihadapi adalah pemahaman yang parsial tentang Islam bahkan pandangan dan stigma negatif tentang Islam.

     

    Sebagian menganggap sama saja antara Islam dengan bukan Islam dan tidak ada urgensinya untuk menerapkan tatanan Islam kaffah termasuk menerapkan sistem ekonomi Islam. Hal ini disebabkan karena tidak memahami karakteristik dan perbedaan mendasar antara sistem ekonomi Islam dengan yang selainnya. Oleh karena itu menjadi penting untuk memahami dan mendapatkan gambaran besar (big picture) dan contoh dari tatanan sistem tersebut.

     

    Beberapa tahun yang lalu, dalam sebuah forum pelatihan keagamaan yang tak biasa, seorang ustadz (yang merupakan guru penulis) diundang untuk menjadi pembicara di hadapan para pendeta untuk menjelaskan tentang konsep penerapan syariat Islam secara kaffah. Bukan sekadar ceramah lintas iman, pertemuan ini menjadi arena intelektual yang mengguncang paradigma para peserta—terutama saat sang ustadz mengurai keunggulan sistem ekonomi Islam dibandingkan kapitalisme dan sosialisme-komunisme.

     

    Sang ustadz membuka paparannya dengan menyajikan struktur syariat Islam dalam satu lembar gambar sederhana. Ia menjelaskan bahwa seluruh ajaran Islam dapat diringkas dalam tiga dimensi besar: hubungan manusia dengan Allah (aqidah dan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (etika, pakaian, makanan), dan hubungan manusia dengan sesama (sistem sosial, ekonomi, politik, dan pemerintahan). Dimensi ketiga inilah—yang mengatur urusan publik—yang disebut sebagai implementasi syariat Islam secara kaffah.

     

    Kemudian, sang ustadz menantang para peserta dengan satu pertanyaan tajam: “Jika dimensi ketiga ini diterapkan di Indonesia, akankah terjadi benturan dengan Kristen, Hindu, atau Budha?” Banyak pendeta awalnya menjawab, “Ya, pasti terjadi benturan.” Namun ustadz itu menjawab tegas, “Salah besar.”

     

    Mengapa tidak terjadi benturan? Karena ajaran agama-agama tersebut tidak mencakup sistem kehidupan publik seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, atau politik luar negeri. Ajaran mereka, jelasnya, hanya menyentuh dimensi aqidah dan akhlak. Maka saat Islam menghadirkan sistem ekonomi dan sosial sebagai bagian dari wahyu, tak ada konflik ideologis dengan agama-agama—tetapi akan berbenturan dengan dua ideologi besar dunia: kapitalisme dan sosialisme-komunisme.

     

    Dengan jernih, ustadz tersebut menjelaskan bahwa hanya ada dua ideologi yang memenuhi syarat sebagai mabda’ (ideologi) sejati: kapitalisme dan sosialisme. Keduanya berangkat dari pemikiran dasar yang memunculkan sistem kehidupan menyeluruh—dan inilah yang menjadi rival sejati Islam dalam mengatur negara dan masyarakat.

     

    Lalu muncul pertanyaan penting: Kalau kita cinta Indonesia, ideologi apa yang paling tepat untuk mengatur negeri ini? Saat mayoritas peserta menjawab "kapitalisme", ustadz itu mengajak mereka menelaah lebih dalam.

     

    Ia memaparkan kisah tentang harga SIM card di era 1990-an yang mencapai jutaan rupiah karena dimonopoli negara. Ketika sistem pasar bebas mulai diberlakukan, harga SIM card anjlok hingga gratis karena kompetisi sehat antar swasta. “Inilah keunggulan kapitalisme,” katanya, “harga turun, kualitas naik, konsumen senang.”

     

    Namun setelah pujian itu, sang ustadz memutar haluan. Dengan nada tajam ia mengungkap, jantung dari kapitalisme adalah bank dan pasar modal—pusat arus uang yang dikendalikan oleh segelintir elit ekonomi. Bank hanya memberikan kredit pada yang sudah kaya: usaha besar dengan jaminan kuat. Maka, uang terus mengalir ke satu arah—membesarkan yang sudah besar. Dampaknya? Kesenjangan. Sebuah kutukan struktural dalam kapitalisme: si kaya semakin kaya, si miskin makin terpinggirkan.

     

    Para pendeta mulai gelisah. Mereka menyadari bahwa sistem yang mereka pilih tadi justru menciptakan ketidakadilan struktural.

     

    “Lalu bagaimana dengan sosialisme-komunisme?” tanya sang ustadz.

     

    Ia menggambarkan dengan satir: demi menghapus kesenjangan, sosialisme mencabut seluruh kepemilikan individu. Semua jadi milik negara. Semua orang jadi pekerja negara. Gaji sama, hak sama. Tapi, di situ pula masalah muncul: tidak ada insentif untuk bekerja keras. Mengapa harus bersusah payah jika yang malas pun dapat gaji yang sama? Inilah akar kehancuran negara-negara sosialis: tidak sesuai fitrah manusia. Fitrah untuk memiliki dan berkembang dipaksa sirna.

     

    Kini para pendeta ditarik ke titik refleksi. Kalau kapitalisme menciptakan jurang, dan sosialisme menumpulkan motivasi, maka apa alternatifnya?

     

    Ustadz itu menjawab lantang: Islam. Sistem ekonomi Islam hadir bukan dari asumsi manusia, tapi dari wahyu. Islam membagi kepemilikan secara bijak menjadi tiga: kepemilikan individu (milkiyah fardiyah), kepemilikan umum (milkiyah ammah), dan kepemilikan negara (milkiyah daulah). Tambang, listrik, air, jalan raya—semua milik umum dan dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat.

     

    Milkiyah ‘ammah merujuk pada harta yang secara syar’i tidak boleh dimiliki oleh individu atau negara, karena merupakan milik kolektif umat. Contohnya adalah air, padang rumput, api (energi), dan segala sumber daya yang jika dikuasai individu bisa merugikan kepentingan umum seperti hutan, sungai, laut, termasuk tambang.

     

    Rasulullah SAW bersabda:

     

    اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّار

     

    Artinya: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api. (HR Abu Dawud dan Ahmad)

     

    Para ulama menafsirkan “api” sebagai simbol energi—termasuk bahan bakar, listrik, dan sumber daya energi lainnya.

     

    Rasululullah dalam suatu hadist (HR. Tirmidzi), pernah meminta kembali tambang garam yang telah diberikan kepada Abidh bin Hamal, setelah nengetahui bahwa garam tersebut depositnya sangat banyak dan tidak terbatas. Ini merupakan dalil larangan atas individu untuk memiliki tambang yang depositnya sangat banyak.

     

    Kemudian sang ustadz memaparkan: jika hanya satu tambang seperti Freeport bisa menghasilkan potensi pendapatan ratusan triliun rupiah, maka seluruh kebutuhan dasar masyarakat bisa digratiskan: pendidikan dari SD hingga S3, rumah sakit berkualitas, perumahan rakyat, bahkan listrik dan BBM pun bisa gratis. Tak ada jalan tol berbayar, tak ada air bersih yang harus dibeli. “Rakyat tak perlu lagi hidup dalam tekanan ekonomi,” tegasnya.

     

    Dalam sistem Islam, pemerintah tidak duduk sebagai pelaku pasar seperti kapitalisme, juga tidak sebagai penguasa absolut seperti komunisme. Pemerintah berfungsi sebagai pengatur dan pelindung kepentingan rakyat, menjaga keadilan distribusi, dan menjamin kebutuhan dasar terpenuhi.   Hidup menjadi penuh berkah bukan penuh beban.

     

    Sesi itu ditutup dengan suasana hening. Para pendeta tak lagi bersikukuh mempertahankan kapitalisme. Beberapa bahkan mulai bertanya lebih dalam tentang ekonomi Islam. Apa yang semula menjadi ajang “training” lintas iman, justru menjadi ruang tadabbur kebijakan publik dan ideologi dunia yang sangat fundamental.

     

    Kisah ini bukan tentang debat antaragama. Ini tentang membongkar mitos dan membuka mata bahwa Islam bukan agama yang menakutkan, bukan sekadar agama ritual, tapi sistem hidup yang menyeluruh—dan satu-satunya jalan alternatif bagi negeri yang ingin benar-benar merdeka dari penjajahan ekonomi dan sangat bisa menaungi semua agama, menebar kesejahteraan kepada manusia. Di akhir sesi, para pendeta bertanya bagaimana cara dan kapan syariat Islam dapat diterapkan di Indonesia secara kaffah?

    Komentar

    Tampilkan

    • Mereka Pun Rindu Ekonomi Islam
    • 0

    Jadwal Shalat

    ”jadwal-sholat”