
![]() |
Tgk. M. Zulfadhli Alfasiy, M.Pd (Sekretaris Wilayah Aceh Komunitas Pendakwah Keren) |
Sebagai dua bangsa bak kakak beradik yang berada dalam kawasan asia
tenggara, Thailand dan Kamboja memiliki identitas nasional yang kuat disertai
kaya akan warisan sejarah. sistem monarki konstitusional yang mereka junjung
telah mengakar pada tradisi budaya yang panjang, dan hal ini menjadikan ajaran
Buddha Theravada sebagai pedoman mayoritas rakyatnya. Tampak harmonis dalam
keserumpunan, namun secara geografis dan budaya, hubungan antara Thailand dan
Kamboja tidaklah seromantis itu. Faktanya persinggungan kepentingan terkait
wilayah perbatasan seperti di kawasan Kuil Preah Vihear, kerap menggetarkan
urat leher bahkan sampai menimbulkan ketegangan yang diluar nalar. Mari kita
coba ransangan khusus bagi generasi muda Islam—untuk memahami identitas kedua
negara bukan semata dalam bingkai politik teritorial, melainkan sebagai
cerminan dinamika sosial dan tantangan solidaritas di kawasan ASEAN.
Sebagai pemuda Aceh, tentunya kita sadar memiliki sejarah panjang dalam
memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kedaulatan, untuk
merebut identitas Islam dalam bingkai kebangsaan. Aceh bukan sekadar
provinsi dengan status Takhsis atau khusus, tapi ia merupakan simbol kekuatan
perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Serta symbol keberhasilan
setelah perjuanagn. Maka, ketika melihat perang di kawasan ASEAN, mestinya kita
tidak bisa hanya menjadi penonton pasif. Kita harus menjadikannya cerminan
untuk bermuhasabah. Dengan algoritma pola piker yang berbeda-beda, maka salah
satu pertanyaan yang muncul adalah apakah kita telah cukup peka
terhadap isu-isu global dan kebijakan nasional yang berdampak pada eksistensi
umat Islam dan kemaslahatan Aceh?
Sebagai Pemuda yang harus menyadari bahwa kebijakan negara tidak selalu
berpihak pada nilai-nilai Islam dan keadilan sosial. Maka, diperlukan
partisipasi aktif membangun pengetahuan dalam berbagai ranah: pendidikan,
media, organisasi kemasyarakatan, hingga politik kebangsaan. Membangunkan
pikiran yang sedang tidur adalah ijtihad untuk menciptakan Kesadaran agar
kebijakan nasional tidak merugikan posisi daerah otonomi Aceh nanggroe
bersyariat. Begitu Pula dalam tatanan Negara, keberadaan pemuda Islam sebagai
warga negara memiliki hak dan kontribusi besar dalam membangun bangsa. Sebagai
acuan yang mampu ditata secara pribadi, maka beberapa hal di bawah ini cukup
sebagai tolak ukur awal dalam membangun kepedulian tersebut.
Pertama, sebagai pemuda Aceh kita harus menjadi agen literasi politik.
Hal ini dipilih bukan untuk memecah belah, namun untuk membangun kesadaran
bahwa politik adalah alat perjuangan yang harus dikuasai. Pemuda harus paham
bagaimana segmen pemutusan kebijakan negara berjalan, siapa yang membuatnya,
bagaimana polanya dan apa dampak terhadap masyarakat. Penadalaman pemahaman
ini, akan mengarahkan kita untuk selangkah lebih siap dan mampu untuk
memperjuangkan regulasi yang lebih adil dan pro-Islam.
Pada poin kedua, sebagai Aneuk nanggroe harus aktif dalam advokasi
sosial dan kemanusiaan. Perang Thailand-Kamboja merupakan konflik yang selalu
meninggalkan luka. Maka, aneuk nanggroe harus tampil sebagai pelopor perdamaian,
meskipun implementasinya hanya menggunakan jemari saat bersosial media, tapi
efek tersebut akan membawa pada level lokal maupun internasional. Hal ini
sangat kekinian karena menjadi sarana kita menunjukkan empati dan keberpihakan
kepada korban konflik.
Yang menjadi tolak ukur yang ketiga adalah Ketiga, syababul Yaum harus
bergerak membangun kekuatan melalui kolaborasi. Karena ini awal daripada
istilah kolabora-aksi yang mana kita tidak bisa bergerak sendiri. Perlu
jejaring lintas daerah, lintas organisasi, dan bahkan lintas negara yang
sama-sama peduli pada isu-isu Islam dan keadilan. Forum pemuda ASEAN misalnya,
bisa menjadi ruang untuk menyuarakan aspirasi dan nilai-nilai keislaman yang
universal.
Dan ini poin terakhir dalam catatan hari bahwa kita perlu menghidupkan
kembali semangat intelektualisme Islam. pemuda Aceh tak perlu mengikuti tren
sibuk scrolling tanpa benefit dengan gadget dan juga hiburan yang melemahkan
pola pikir. Aceh butuh kader-kader muda yang mampu membaca isu global dengan kacamata
Islam dan memberikan solusi berlandaskan Dalil dan Nash.
Baru nantinya akan lahir pemimpin-pemimpin masa depan yang peka, bijak, dan
berpihak pada umat.
Kita harus membuka mata lebih besar bahwa konflik seperti ini
seringkali meninggalkan penderitaan bagi rakyat kecil. Sementara elit politik
dan militer berganti meja dalam menegosiasikan batas dan kekuasaan,. Semetara
masyarakat sipil terutama umat Islam minoritas di kawasan perbatasan selatan
Thailand dan sebagian Kamboja terus menjadi korban yang terabaikan. Di sinilah
perlu dan pentingnya sensitivitas sosial dan solidaritas kemanusiaan yang harus
tertanam dalam diri setiap Aneuk Nanggroe.
Konflik Thailand-Kamboja, Israel-Palestina mungkin bagi kita itu tampak
jauh secara geografis, namun secara nilai dan bathin, ia dekat dengan kita. Ia
mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga ukhuwah, memperjuangkan keadilan,
dan menjadi pemuda yang peduli terhadap kondisi umat. Aceh, dengan segala
keistimewaannya, harus menjadi mercusuar peradaban Islam di Nusantara. Dan itu
hanya bisa terwujud jika pemudanya bangkit, sadar, dan bergerak
bersama. Wallahu a’lam.