Judul Terbaru

    Back Groud MRB (atas)


     

    Pengumuman

    Jadwal Shalat

    Perang Thailand vs Kamboja: Refleksi dan Seruan Kepedulian bagi Pemuda Aceh dalam Menyikapi Isu Internasional

    Rabu, 30 Juli 2025, Juli 30, 2025 WIB Last Updated 2025-07-31T03:56:09Z

     

    Tgk. M. Zulfadhli Alfasiy, M.Pd
    (Sekretaris Wilayah Aceh Komunitas Pendakwah Keren)


    Sebagai dua bangsa bak kakak beradik yang berada dalam kawasan asia tenggara, Thailand dan Kamboja memiliki identitas nasional yang kuat disertai kaya akan warisan sejarah. sistem monarki konstitusional yang mereka junjung telah mengakar pada tradisi budaya yang panjang, dan hal ini menjadikan ajaran Buddha Theravada sebagai pedoman mayoritas rakyatnya. Tampak harmonis dalam keserumpunan, namun secara geografis dan budaya, hubungan antara Thailand dan Kamboja tidaklah seromantis itu. Faktanya persinggungan kepentingan terkait wilayah perbatasan seperti di kawasan Kuil Preah Vihear, kerap menggetarkan urat leher bahkan sampai menimbulkan ketegangan yang diluar nalar. Mari kita coba ransangan khusus bagi generasi muda Islam—untuk memahami identitas kedua negara bukan semata dalam bingkai politik teritorial, melainkan sebagai cerminan dinamika sosial dan tantangan solidaritas di kawasan ASEAN.

     

    Sebagai pemuda Aceh, tentunya kita sadar memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan, kedaulatan, untuk merebut  identitas Islam dalam bingkai kebangsaan. Aceh bukan sekadar provinsi dengan status Takhsis atau khusus, tapi ia merupakan simbol kekuatan perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Serta symbol keberhasilan setelah perjuanagn. Maka, ketika melihat perang di kawasan ASEAN, mestinya kita tidak bisa hanya menjadi penonton pasif. Kita harus menjadikannya cerminan untuk bermuhasabah. Dengan algoritma pola piker yang berbeda-beda, maka salah satu pertanyaan yang muncul adalah  apakah kita telah cukup peka terhadap isu-isu global dan kebijakan nasional yang berdampak pada eksistensi umat Islam dan kemaslahatan Aceh?

     

    Sebagai Pemuda yang harus menyadari bahwa kebijakan negara tidak selalu berpihak pada nilai-nilai Islam dan keadilan sosial. Maka, diperlukan partisipasi aktif membangun pengetahuan dalam berbagai ranah: pendidikan, media, organisasi kemasyarakatan, hingga politik kebangsaan. Membangunkan pikiran yang sedang tidur adalah ijtihad untuk menciptakan Kesadaran agar kebijakan nasional tidak merugikan posisi daerah otonomi Aceh nanggroe bersyariat. Begitu Pula dalam tatanan Negara, keberadaan pemuda Islam sebagai warga negara memiliki hak dan kontribusi besar dalam membangun bangsa. Sebagai acuan yang mampu ditata secara pribadi, maka beberapa hal di bawah ini cukup sebagai tolak ukur awal dalam membangun kepedulian tersebut.

     

    Pertama, sebagai pemuda Aceh kita harus menjadi agen literasi politik. Hal ini dipilih bukan untuk memecah belah, namun untuk membangun kesadaran bahwa politik adalah alat perjuangan yang harus dikuasai. Pemuda harus paham bagaimana segmen pemutusan kebijakan negara berjalan, siapa yang membuatnya, bagaimana polanya dan apa dampak terhadap masyarakat. Penadalaman pemahaman ini, akan mengarahkan kita untuk selangkah lebih siap dan mampu untuk memperjuangkan regulasi yang lebih adil dan pro-Islam.

     

    Pada poin kedua, sebagai Aneuk nanggroe harus aktif dalam advokasi sosial dan kemanusiaan. Perang Thailand-Kamboja merupakan konflik yang selalu meninggalkan luka. Maka, aneuk nanggroe harus tampil sebagai pelopor perdamaian, meskipun implementasinya hanya menggunakan jemari saat bersosial media, tapi efek tersebut akan membawa pada level lokal maupun internasional. Hal ini sangat kekinian karena menjadi sarana kita menunjukkan empati dan keberpihakan kepada korban konflik.

     

    Yang menjadi tolak ukur yang ketiga adalah Ketiga, syababul Yaum harus bergerak membangun kekuatan melalui kolaborasi. Karena ini awal daripada istilah kolabora-aksi yang mana kita tidak bisa bergerak sendiri. Perlu jejaring lintas daerah, lintas organisasi, dan bahkan lintas negara yang sama-sama peduli pada isu-isu Islam dan keadilan. Forum pemuda ASEAN misalnya, bisa menjadi ruang untuk menyuarakan aspirasi dan nilai-nilai keislaman yang universal.

     

    Dan ini poin terakhir dalam catatan hari bahwa kita perlu menghidupkan kembali semangat intelektualisme Islam. pemuda Aceh tak perlu mengikuti tren sibuk scrolling tanpa benefit dengan gadget dan juga hiburan yang melemahkan pola pikir. Aceh butuh kader-kader muda yang mampu membaca isu global dengan kacamata Islam dan memberikan solusi berlandaskan Dalil dan Nash. Baru nantinya akan lahir pemimpin-pemimpin masa depan yang peka, bijak, dan berpihak pada umat.

     

    Kita harus membuka mata lebih besar  bahwa konflik seperti ini seringkali meninggalkan penderitaan bagi rakyat kecil. Sementara elit politik dan militer berganti meja dalam menegosiasikan batas dan kekuasaan,. Semetara masyarakat sipil terutama umat Islam minoritas di kawasan perbatasan selatan Thailand dan sebagian Kamboja terus menjadi korban yang terabaikan. Di sinilah perlu dan pentingnya sensitivitas sosial dan solidaritas kemanusiaan yang harus tertanam dalam diri setiap Aneuk Nanggroe.

     

    Konflik Thailand-Kamboja, Israel-Palestina mungkin bagi kita itu tampak jauh secara geografis, namun secara nilai dan bathin, ia dekat dengan kita. Ia mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga ukhuwah, memperjuangkan keadilan, dan menjadi pemuda yang peduli terhadap kondisi umat. Aceh, dengan segala keistimewaannya, harus menjadi mercusuar peradaban Islam di Nusantara. Dan itu hanya bisa terwujud  jika pemudanya bangkit, sadar, dan bergerak bersama. Wallahu a’lam.

     


    Komentar

    Tampilkan

    • Perang Thailand vs Kamboja: Refleksi dan Seruan Kepedulian bagi Pemuda Aceh dalam Menyikapi Isu Internasional
    • 0

    Jadwal Shalat

    ”jadwal-sholat”