
![]() |
Abu Paya Pasi (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman) |
Rukun Islam ada lima, yaitu: mengucapkan dua
kalimat syahadat, melaksanakan salat lima waktu sehari semalam, membayar zakat
apabila telah mencapai nisab dan haul, berpuasa di bulan Ramadan, serta
menunaikan haji bagi yang mampu.
Selain itu, kita wajib meyakini enam rukun iman.
Pertama, beriman kepada Allah. Kedua, beriman kepada rasul Allah. Ketiga,
beriman kepada kitab Allah, yaitu Al-Qur’an. Allah SWT menegaskan dalam Surah
Al-Baqarah ayat 1–2: “Inilah Kitab (Al-Qur’an) yang tidak ada keraguan
padanya, menjadi petunjuk bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada
Allah.”
Rukun iman yang ketiga ini berkaitan erat dengan
syariat. Ada perintah dan ada larangan. Tugas kita adalah melaksanakan perintah
Allah dengan sungguh-sungguh serta meninggalkan larangan-Nya. Jika kita taat,
balasannya adalah surga. Sebaliknya, jika kita meninggalkan perintah Allah,
balasannya adalah neraka. Inilah yang kemudian berkaitan dengan ilmu tasawuf,
yakni ilmu yang berhubungan dengan hati dan kesadaran akan akibat dari setiap
amal perbuatan.
Rukun iman yang keempat adalah beriman kepada
malaikat beserta tugas-tugasnya. Rukun iman kelima adalah beriman kepada hari
kiamat. Pada hari itu, Allah akan memberikan surga kepada hamba-hamba yang taat
dan neraka kepada mereka yang bermaksiat. Walaupun di dunia ini kita tidak
pernah melihat surga maupun neraka, kita wajib meyakini keduanya. Itulah
hakikat iman, percaya sepenuhnya kepada apa yang diberitakan dalam Al-Qur’an
dan hadis, tanpa perlu melihatnya langsung.
Rukun iman yang keenam adalah beriman kepada qadha
dan qadar Allah SWT. Hidup dan mati, panjang atau pendeknya umur, segala yang
terjadi dalam hidup kita, semuanya telah ditetapkan oleh Allah jauh sebelum
langit dan bumi diciptakan. Bahkan apa yang kita kenakan dan di mana kita duduk
saat ini, semuanya sudah ada dalam ilmu Allah SWT.
Dengan demikian, iman yang sempurna adalah ketika
kita meyakini seluruh enam rukun iman, bukan hanya sebagian. Jika kita
meninggalkan salah satunya, maka iman kita menjadi pincang dan berbahaya.
Rasulullah SAW telah bersabda dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim: “Man
ahdatsa fi amrina hadza maa laisa minhu fahuwa raddun” siapa yang
mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama yang tidak sesuai dengan Rasulullah,
maka tertolak.
Ibarat sandal, jika kita hanya memakai sebelah,
langkah kita akan pincang. Begitu pula agama, harus dijalankan secara utuh.
Rasulullah SAW pernah memberikan nasihat yang membuat dada para sahabat
bergetar hingga meneteskan air mata. Para sahabat berkata, “Wahai
Rasulullah, berilah kami wasiat agar selamat dunia dan akhirat.” Beliau
menjawab, “Ittaqullah, takutlah kalian kepada Allah.” Beliau juga
mengingatkan, setelah beliau wafat akan muncul perpecahan umat menjadi 73
golongan, dan semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu mereka yang berpegang
pada sunnah Rasulullah dan sunnah Khulafaur Rasyidin.
Khulafaur Rasyidin memimpin selama 30 tahun setelah
Rasulullah wafat. Pertama, Abu Bakar Ash Shiddiq selama 2 tahun 3 bulan. Kedua,
Umar bin Khattab selama 10 tahun 6 bulan. Ketiga, Utsman bin Affan selama 13
tahun. Keempat, Ali bin Abi Thalib selama 4 tahun 6 bulan. Setelah itu, Hasan
bin Ali memimpin selama 6 bulan sebelum menyerahkannya kepada Muawiyah. Dengan
demikian, genaplah 30 tahun masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Ati‘ullaha wa
ati‘ur rasula wa ulil amri minkum (Q.S Annisa: 59)” “Taatilah Allah,
taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu.” Yang dimaksud ulil amri di
sini adalah para Khulafaur Rasyidin, karena merekalah penerus langsung
kepemimpinan Rasulullah.
Pada masa Abu Bakar, terjadi banyak peperangan
melawan orang murtad dan nabi palsu. Banyak para penghafal Al-Qur’an yang
gugur. Umar kemudian mengusulkan kepada Abu Bakar agar Al-Qur’an dikumpulkan
dan ditulis. Awalnya Abu Bakar ragu karena hal itu tidak dilakukan pada masa
Rasulullah. Namun setelah dijelaskan oleh Umar, akhirnya beliau menerima usulan
tersebut. Umar berkata, “Jika tidak ditulis, Al-Qur’an bisa hilang. Lebih
baik dianggap bodoh karena menulis, daripada kehilangan Al-Qur’an.” Maka
dimulailah pengumpulan dan penulisan mushaf Al-Qur’an.